Disclaimer:
Saya mengenal ibu Syamsiar Syam dan tak begitu mengenal Panji yang dijuluki preman disamping walikota, dan saya bukan pendukung atau pembela siapa pun. Tapi, kalau nantinya miring ke kanan atau ke kiri, ya bukan salah saya. Hehehe 😂
Drama di Sirkuit Ratona
Palopo, sebuah kota yang tenang di pesisir Teluk Bone, mendadak menjadi riuh. Bukan karena pembangunan infrastruktur spektakuler atau gebrakan kebijakan pemerintah yang menyejahterakan rakyat, melainkan karena sebuah insiden sederhana namun penuh simbol: seorang ibu paruh baya, Syamsiar Syam, didorong oleh seorang pria bernama Panji, yang disebut-sebut preman sekaligus saudara dari salah satu anggota DPRD di Kota Palopo.
Insiden ini terjadi di tengah keramaian penonton road race di Sirkuit Ratona Palopo. Sekilas tampak sepele: seorang penonton mendorong penonton lain. Namun, karena yang terdorong adalah sosok yang selama ini dikenal “vokal” di media sosial, maka kejadian itu segera meledak menjadi drama publik. Di kota kecil, kadang dorongan ringan bisa lebih ramai ketimbang jatuhnya APBD.
---
Siapa Syamsiar Syam?
Syamsiar bukan nama asing di Palopo. Dia dikenal sebagai “Bunda Mano” di media sosial, sebuah akun Facebook yang rajin berkomentar pedas soal politik lokal. Saat Pilkada Palopo, ia menjadi barisan terdepan para haters salah satu calon wali kota. Komentarnya kerap tajam, bahkan menyerempet kasar.
Rekam jejak hukumnya memperkuat reputasi kontroversial ini:
Tahun 2018, ia pernah dijatuhi hukuman 5 bulan penjara dalam kasus ITE, karena menyebarkan konten penghinaan dan pencemaran nama baik.
Tahun 2024, ia kembali dilaporkan ke polisi, kali ini karena ujaran kebencian terhadap institusi Polri, menyebut istilah “jangan jadi polisi India” yang menyinggung banyak pihak.
Awal 2025, tim kuasa hukum salah satu paslon Pilkada melaporkan akun Facebook miliknya atas dugaan penyebaran hoaks dan fitnah.
Dengan latar itu, dorongan yang dialaminya di tribun road race seolah menambah “babak baru” drama kehidupannya. Dari status haters, terdakwa, terlapor, hingga kini korban. Narasi sempurna untuk sebuah biografi yang layak diberi judul: “Dari Cacian ke Dorongan.” 😂😂
---
Siapa Panji?
Nama Panji muncul bukan karena prestasi, melainkan karena perannya sebagai antagonis dalam drama ini. Ia disebut-sebut sebagai preman di lingkaran wali kota Palopo, sekaligus saudara dari salah satu anggota DPRD. Meski data konkret tentang rekam jejak kriminalnya tidak mudah ditemukan di ranah publik, citra yang melekat sudah cukup: preman, pengawal, atau tukang pasang badan.
Bayangkan: seorang pria dewasa mendorong ibu paruh baya di tengah keramaian. Apapun alasannya, tindakannya sulit diterima akal sehat. Namun dalam logika politik lokal, peran Panji bisa dimaknai sebagai representasi “otot” yang menopang kekuasaan. Di era ketika citra sangat penting, keberadaan sosok pengawal macam Panji justru menjadi bahan bakar drama yang membuat isu ini viral.
---
Narsisme yang Menular
Di titik inilah menarik membicarakan fenomena Narcissistic Personality Disorder (NPD). NPD adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan:
1. Perasaan grandiositas — keyakinan berlebihan akan pentingnya diri.
2. Kebutuhan besar akan kekaguman.
3. Kurangnya empati terhadap orang lain.
4. Fantasi tentang kekuasaan, kecerdasan, atau keindahan diri.
5. Mudah tersinggung ketika dikritik, lalu membalas dengan agresi atau manipulasi.
Kalau kita letakkan kacamata ini pada kasus Palopo, maka terlihat benang merah yang menarik.
Syamsiar Syam: komentar pedas di media sosial, hujatan berulang, hingga kasus ujaran kebencian, menunjukkan gejala kebutuhan akan perhatian publik. Ia ingin dilihat sebagai pengkritik tajam, “penjaga moral”, atau sekadar pembeda di tengah kerumunan.
Namun karena kritiknya kerap bersandar pada emosi, ia sering tergelincir dalam jebakan hoaks dan pencemaran nama baik. Itu pola klasik narsisme: ingin tampil menonjol meski dengan cara destruktif.
Panji: aksinya mendorong seorang ibu paruh baya di depan banyak orang bukan sekadar refleks emosional, melainkan bentuk demonstrasi kuasa. Sebagai saudara anggota DPRD, ia seolah sedang menegaskan posisi: “Saya berhak mengatur ruang ini, termasuk siapa yang boleh duduk dan siapa yang harus minggir.” Itulah ekspresi narsistik dalam bentuk fisik: dominasi tubuh atas tubuh lain, demi memamerkan kuasa yang tak tertulis.
---
Narsisme di Kota Kecil
Kenapa gejala ini mudah muncul di Palopo? Jawabannya sederhana: kota kecil dengan arena politik sempit cenderung melahirkan “drama kehadiran.” Dalam ruang publik yang terbatas, setiap orang berusaha keras untuk terlihat, untuk eksis.
Media sosial memperbesar gejala ini. Facebook menjadi panggung, komentar pedas jadi sorotan, dan kasus hukum pun bisa mendongkrak popularitas. Apa pun bisa dijadikan modal untuk tetap berada di garis cahaya—bahkan insiden didorong di tribun.
Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem politik lokal. Ketika kebijakan publik kurang menarik perhatian, drama personal semacam ini justru menjadi konsumsi utama. Bagi warga, lebih mudah membicarakan siapa mendorong siapa ketimbang siapa yang gagal membangun jalan atau menurunkan angka kemiskinan.
---
Bahaya NPD di Lingkar Kekuasaan
Secara psikologis, NPD bukan sekadar “suka tampil.” Ia berbahaya jika melekat pada orang yang berada di lingkar kekuasaan.
Pada politikus: bisa melahirkan gaya kepemimpinan otoriter, karena kritik dianggap ancaman terhadap kebesaran dirinya.
Pada pengawal politik: bisa menjelma perilaku represif di lapangan—dorongan, intimidasi, hingga kekerasan fisik.
Pada haters atau oposisi: bisa memunculkan kritik-kritik ekstrem yang lebih diarahkan untuk mencari sorotan ketimbang membangun diskursus sehat.
Dalam kasus Palopo, kita melihat ketiganya hadir sekaligus. Ada haters yang narsistik, ada pengawal yang narsistik, dan ada struktur politik yang diam-diam diuntungkan oleh benturan keduanya.
---
Jika mau jujur, drama ini bukan hanya soal Syamsiar dan Panji. Ini soal bagaimana masyarakat kita tergoda oleh tontonan narsisme. Kita lebih tertarik menyaksikan ibu paruh baya didorong preman ketimbang membaca data kemiskinan. Kita lebih bersemangat berkomentar di Facebook soal siapa yang benar dan salah ketimbang mengkritisi bagaimana APBD dibelanjakan.
Maka, siapa sebenarnya penderita NPD? Bukan hanya mereka berdua, tapi juga kita—para penonton yang terus menyalakan sorot lampu panggung untuk drama semacam ini.
---
Dari Dorongan ke Refleksi
Insiden di Sirkuit Ratona harusnya menjadi cermin. Bukan cermin untuk menertawakan Syamsiar atau mencibir Panji, tapi cermin untuk melihat diri kita sendiri. Narsisme bukan sekadar gangguan kepribadian individual, tapi juga penyakit sosial.
Selama kita terus memuja drama personal, selama kita terus mengabaikan substansi politik, maka narsisme akan tetap tumbuh subur di kota-kota kecil kita. Ia bisa muncul dalam bentuk komentar pedas, dorongan fisik, atau sekadar status Facebook yang mengundang ribuan reaksi.
Dan akhirnya, Palopo tidak akan tercatat dalam sejarah karena inovasi kebijakan atau kemajuan sosial, melainkan karena hal-hal sepele yang viral: dari cacian, laporan polisi, hingga dorongan di tribun.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar