Aku sering bertanya pada diriku sendiri: bagaimana seorang ayah diingat oleh anak-anaknya? Apakah mereka akan mengenang senyumku, atau justru mengingat wajahku yang penuh kerut dan lelah? Apakah mereka akan bangga menyebutku ayah, atau justru menunduk malu ketika nama itu disebut? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap menghantui malamku, terutama ketika aku menatap wajah anak-anakku yang sedang tidur lelap.
Aku seorang ayah dari empat anak. Anak pertamaku laki-laki, sulung yang kelak akan kutinggalkan tanggung jawab paling besar. Anak keduaku seorang perempuan, gadis kecil dengan tatapan penuh rasa ingin tahu tentang dunia. Lalu ada si kembar, dua perempuan kecil yang datang sekaligus, seperti hadiah sekaligus ujian dari Tuhan. Setiap tawa mereka, setiap ocehan polos mereka, seakan menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya hidupku.
Aku ingin jujur: aku bukan ayah yang sempurna. Aku pernah berdiri di ruang-ruang megah, di kantor-kantor berpendingin udara, menghirup wangi politik yang penuh intrik. Aku pernah merasa punya posisi yang membuat orang lain memandangku dengan hormat. Dulu aku bekerja sebagai Staf Ahli anggota DPR RI dari Partai Golkar. Dari sana, aku belajar tentang kuasa, tentang ambisi, dan tentang betapa rapuhnya janji manusia.
Tapi hidup selalu punya caranya sendiri untuk menguji. Dari gedung tinggi itu aku turun, mencoba membangun mimpiku sendiri lewat warung kopi sederhana. Aku belajar menyeduh kopi sambil menyeduh harapan, berharap dari sana aku bisa menafkahi keluarga dengan cara yang lebih jujur, lebih tenang. Namun hidup tak pernah lurus. Warung itu kadang ramai, kadang sepi. Dan ketika sepi lebih sering datang, aku pun mencari jalan lain. Aku kembali terjun ke dunia politik, bukan sebagai pemain utama, tapi sebagai orang yang membantu orang lain mengejar kursi kekuasaan.
Namun, roda kehidupan berputar terlalu cepat. Aku terlempar keluar lintasan. Hari ini, aku berdiri di titik terendah. Aku menulis ini bukan dari rumah besar dengan halaman luas, bukan dari ruang kerja penuh buku, melainkan dari sebuah tempat kecil yang bahkan listriknya sering padam karena tagihan yang menunggak. Ada hari-hari ketika aku pulang tanpa membawa beras. Ada pagi ketika air tak mengalir karena rekening tak cukup untuk membayar. Ada sore ketika aku duduk lama di sudut kamar, menatap kosong, sambil bertanya: bagaimana caraku bertahan hari ini?
Aku berutang ke kerabat, ke teman, bahkan ke pinjaman online. Aku tahu itu langkah gila, tapi ketika perut anak-anak menjerit lapar, logika kalah oleh cinta. Aku hanya berpikir bagaimana mereka bisa makan hari itu, meski aku tahu besok aku harus menanggung beban yang lebih berat.
Namun di balik semua keterpurukan itu, ada satu hal yang membuatku tetap bisa bangun setiap pagi: keluargaku. Anak-anakku, istriku, mereka adalah alasan mengapa aku masih bisa menatap hari esok, meski dengan mata yang sayu. Mereka tidak meminta banyak. Anak-anakku hanya butuh senyuman, kasih sayang, dan rasa aman. Istriku hanya butuh kepastian bahwa aku masih mau berjuang.
Dan di situlah aku menemukan kekuatan kecil: bahwa meski aku jatuh, aku belum kalah. Bahwa meski aku terpuruk, aku belum mati. Aku masih punya kesempatan untuk bangkit, untuk membuktikan bahwa seorang ayah bukan diukur dari seberapa besar ia pernah berdiri, melainkan dari seberapa kuat ia mampu bangkit kembali.
Prolog ini adalah sebuah pengakuan. Bahwa aku pernah berada di atas, dan kini aku di bawah. Bahwa aku pernah bermimpi besar, dan kini aku hanya berharap bisa bertahan. Tapi lebih dari itu, ini adalah janji: bahwa aku akan terus berjuang. Karena di sampingku ada empat cahaya kecil, dan seorang perempuan yang bertahan di sisiku. Mereka adalah alasanku. Mereka adalah rumahku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar