Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]



Kalau biasanya orang takut ke dokter gigi karena suara bor ngiiiing yang bikin merinding, di Luwu ada alasan baru untuk takut: bukan cuma sakit gigi, tapi juga takut “dicolek-colek” pasca operasi. Inilah kisah seorang dokter spesialis bedah mulut berinisial JHS, yang bukan hanya dituduh ahli mencabut gigi, tapi juga mencabut rasa aman pasien.

---
Dari Hippocrates ke Hipokrit

Sumpah dokter itu sakral: Primum non nocere — jangan menyakiti. Tapi entah kenapa, sumpah itu sering bergeser jadi Primum non ngere — jangan sampai ketahuan.

Dalam kasus ini, keluarga pasien yang baru saja dirawat malah diduga jadi “objek pelukan” sang dokter. Kode Etik Kedokteran jelas melarang penggunaan pasien untuk kepentingan pribadi. Tapi tampaknya ada yang salah kaprah: pasien sakit dianggap celah, bukan amanah.

Kalau begini, sebentar lagi pasien gigi perlu pasang disclaimer: “Tolong cabut gigi saya, Dok. Tapi jangan cabut martabat saya.”


---

Dari Cokelat ke Colak-Colek

Modusnya disebut-sebut dimulai dari hadiah cokelat. Lucu juga, ya? Biasanya cokelat identik dengan Valentine, ini malah identik dengan pelecehan.

Jadi kalau ada alasan “salah paham”, masyarakat wajar bilang: “Salah paham apaan? Itu jelas-jelas colak-colek!”


---

Bor Tumpul, Pasal Tersumbat

Di atas kertas, hukum kita garang. Ada UU TPKS, KUHP Pasal 289, sampai UU Perlindungan Anak. Tapi di lapangan, kadang hukum terasa kayak gigi berlubang: sakit, tapi ditambalnya entah kapan.

Hingga kini, JHS belum juga ditetapkan tersangka. Polisi katanya masih “mendalami”. Mendalami apa, ya? Ruang rawat inap? Atau cokelatnya harus diuji laboratorium dulu?

Lebih aneh lagi, rumah sakit berencana mengaktifkan kembali dokter itu dengan alasan “kebutuhan tenaga spesialis” dan “praduga tak bersalah”. Kalau begitu, logikanya sama seperti bilang: “Tukang bakso ini diduga racuni pelanggan, tapi biarin aja jualan lagi. Soalnya baksonya enak dan jarang ada.”


---

Trust yang Copot, Trauma yang Tertanam

Secara moral, kasus ini jelas melukai. Pasien datang mencari kesembuhan, bukan tambahan trauma. Masyarakat menitipkan kepercayaan pada dokter, tapi sekali dikhianati, trust itu sulit tumbuh kembali.

Ironinya, sanksinya cuma skors sebulan. Seolah-olah pelecehan seksual setara dengan terlambat apel pagi. Kalau begitu, jangan kaget kalau nanti pasien datang ke rumah sakit sambil bawa CCTV portable sendiri.


---
Pesan Satire 😂😂

Untuk Dokter: Bor itu buat gigi, bukan buat moral pasien. Kalau mau dicintai pasien, jadilah ramah, bukan peraba.

Untuk Rumah Sakit: Kalau spesialis langka, jangan tukar kelangkaan dengan kelengahan. Pasien bisa dirujuk, tapi martabat tak bisa dikembalikan.

Untuk Polisi: Mendalami itu penting, tapi jangan kelewat dalam sampai tenggelam. Ingat, korban butuh keadilan, bukan seminar hukum.

Untuk Masyarakat: Jangan diam. Diam membuat pelecehan dianggap “salah paham kecil”. Padahal dari cium kening bisa naik kelas ke sesuatu yang lebih berat.


---

Saatnya Cabut, Bukan Ditambal

Apakah dokter JHS layak dipecat? Dari sisi etik, iya. Dari sisi moral, iya. Dari sisi hukum, tunggu vonis pengadilan. Tapi publik sudah menjatuhkan vonis sosial: “cukup, jangan lagi ia memegang pasien.”

Profesi dokter adalah profesi mulia. Tapi kemuliaan itu bisa rontok sekejap kalau dipakai untuk colak-colek. Sama seperti gigi: dirawat bertahun-tahun, sekali patah, sulit kembali.

Maka, alih-alih menambal kasus dengan sanksi sebulan, lebih baik cabut akarnya: cabut STR, cabut hak praktik, dan cabut budaya permisif terhadap pelecehan seksual di dunia medis.

Karena pasien datang ke rumah sakit untuk sembuh, bukan untuk ditambah trauma. Dan dokter, kalau masih ingin dicintai, cukup berikan senyum manis. Jangan ditambah cokelat dan colak-colek gratis.

#Satire 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]