Judul Opini : Menolak Restorative Justice untuk Kasus Pelecehan Seksual
Penulis : Isnul Ar Ridha / Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Univ. Indonesia Timur Makassar
Beberapa tahun terakhir, wacana restorative justice (RJ) menjadi populer di Indonesia. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan sering mendorong RJ sebagai jalan keluar dalam menangani tindak pidana ringan, dengan alasan mengurangi beban pengadilan dan mengedepankan pemulihan sosial. Pada titik tertentu, konsep ini memang bermanfaat: konflik kecil tidak perlu berakhir di meja hijau, sementara korban mendapatkan pemulihan langsung.
Namun, ketika RJ mulai dilirik untuk kasus berat, terutama pelecehan anak di bawah umur, maka alarm bahaya harus dibunyikan. Di sinilah publik perlu tegas menyatakan: Restorative Justice tidak bisa, tidak boleh, dan tidak pantas diterapkan untuk kejahatan seksual terhadap anak.
Mengapa Pelecehan Anak Tidak Bisa Diredam dengan RJ?
Pelecehan anak bukan sekadar “pelanggaran norma”, tetapi kejahatan yang meninggalkan luka panjang. Anak korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga trauma psikologis yang dapat merusak seluruh fase kehidupannya. Para psikolog mencatat, korban pelecehan seksual anak rentan mengalami depresi, kecemasan, kesulitan dalam menjalin hubungan, bahkan risiko bunuh diri di kemudian hari.
Dalam kondisi seperti ini, apakah adil bila kasusnya hanya diselesaikan dengan permintaan maaf atau ganti rugi uang melalui mekanisme RJ? Apakah luka batin anak bisa pulih hanya dengan surat damai? Tentu tidak. Justru RJ dalam kasus ini berpotensi menjadi bentuk reviktimisasi—korban kembali terluka karena seolah-olah penderitaannya “ditawar-tawar” di meja mediasi.
Landasan Hukum yang Tegas Melarang
Bagi negara hukum seperti Indonesia, persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan etika atau moralitas, tetapi harus berlandaskan hukum positif. Dan hukum kita jelas menutup pintu RJ bagi kasus pelecehan anak:
1. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Pasal 7 ayat (2) huruf b: Diversi (penyelesaian di luar pengadilan) tidak berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.
Pelecehan seksual anak diatur dengan ancaman pidana lebih dari 7 tahun → otomatis tidak bisa diversi/RJ.
2. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 76E: Melarang siapa pun melakukan perbuatan cabul terhadap anak.
Pasal 82: Ancaman pidana 5–15 tahun penjara + denda hingga Rp5 miliar.
Ketentuan berat ini menandakan pelecehan anak termasuk serious crime yang wajib diselesaikan lewat pengadilan.
3. UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Pasal 50: Tindak pidana kekerasan seksual merupakan kejahatan serius, tidak boleh ditangani dengan mekanisme di luar hukum formal.
Penegakan hukum harus menjamin hak korban atas pemulihan, bukan malah mempermudah pelaku lolos.
Artinya, bila ada aparat penegak hukum yang mencoba mendorong RJ dalam kasus pelecehan anak, itu jelas bertentangan dengan undang-undang.
Bahaya Bila RJ Dipaksakan dalam Kasus Pelecehan
1. Normalisasi Kejahatan Seksual
Bila RJ dibuka untuk kasus ini, publik bisa menganggap pelecehan anak bukan kejahatan serius. Pelaku mungkin berpikir, “Ah, kalau tertangkap, nanti bisa damai.” Ini berbahaya karena menumbuhkan moral hazard.
2. Tekanan terhadap Korban dan Keluarga
Tidak jarang, keluarga korban—terutama dari kalangan ekonomi lemah—ditekan untuk menerima perdamaian. Apalagi bila pelaku berasal dari keluarga berpengaruh atau memiliki uang. Akibatnya, keadilan untuk korban dikorbankan demi kepentingan pihak tertentu.
3. Trauma Psikologis yang Tak Terselesaikan
Mediasi dalam RJ menuntut korban dan pelaku bertemu. Bayangkan seorang anak dipaksa berhadapan lagi dengan orang yang melecehkannya, hanya demi “perdamaian”. Alih-alih pulih, trauma bisa semakin parah.
4. Hilangnya Efek Jera
Hukum pidana bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejahatan. Bila pelecehan anak bisa selesai lewat RJ, maka efek jera hilang.
Antara Empati dan Kemarahan Publik
Masyarakat pada umumnya menolak keras gagasan RJ dalam pelecehan anak. Setiap kali muncul berita tentang kasus pelecehan anak, publik bereaksi dengan kemarahan besar—bahkan tak jarang ada tuntutan hukuman kebiri kimia atau hukuman mati. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak kejahatan tersebut di mata sosial.
Namun, di sisi lain, ada pula kasus di mana keluarga korban, karena tekanan ekonomi atau rasa malu, memilih jalan damai. Di sinilah negara seharusnya hadir. Bukan membiarkan perdamaian terjadi, melainkan memastikan korban tetap terlindungi. Karena bagi anak korban, masalah ini bukan hanya persoalan “aib keluarga”, tetapi persoalan masa depan dan keselamatan dirinya.
Mengapa Hukum Pidana Harus Tegas?
Ada dua alasan besar:
1. Keadilan bagi Korban
Keadilan bukan sekadar permintaan maaf. Keadilan sejati adalah memastikan pelaku bertanggung jawab sesuai hukum. Dengan begitu, korban merasa bahwa penderitaannya diakui oleh negara.
2. Perlindungan bagi Masyarakat
Anak adalah generasi masa depan. Bila negara gagal melindungi mereka dari pelecehan, maka sama saja kita membiarkan masa depan bangsa hancur. Penegakan hukum yang tegas adalah bentuk nyata perlindungan tersebut.
Alternatif yang Benar untuk Korban
Jika RJ tidak boleh diterapkan, lalu bagaimana dengan nasib korban? Jawabannya bukan RJ, tetapi restorative care—pemulihan yang fokus pada korban, bukan kompromi dengan pelaku. Misalnya:
Pendampingan psikologis jangka panjang.
Bantuan hukum gratis.
Perlindungan identitas korban agar tidak mengalami stigma sosial.
Rehabilitasi sosial agar anak bisa kembali menjalani kehidupan normal.
Dengan demikian, keadilan tetap ditegakkan (pelaku dihukum), sementara korban tetap mendapatkan ruang pemulihan.
Penutup
Restorative Justice memang membawa semangat pemulihan, tetapi ada batas yang jelas. Untuk kasus ringan, ia adalah solusi. Namun untuk kasus berat seperti pelecehan anak, RJ justru bisa menjadi bumerang: melukai korban, mengurangi efek jera, dan merusak

Tidak ada komentar:
Posting Komentar