Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Ada masa dalam hidupku ketika aku merasa berada di jalur yang tepat. Aku masih muda, penuh semangat, dan punya keyakinan bahwa aku bisa menorehkan sesuatu yang berarti. Masa itu adalah ketika aku bekerja di DPR RI, menjadi seorang Staf Ahli untuk anggota dewan dari Partai Golkar.

Bagi banyak orang, mungkin menjadi staf hanyalah pekerjaan biasa. Tidak ada kursi empuk di ruang sidang, tidak ada kamera televisi yang menyorot. Tapi bagiku, pengalaman itu lebih dari sekadar bekerja. Ia adalah pintu yang membawaku masuk ke ruang-ruang tempat kebijakan lahir, ke lingkaran percakapan di balik layar, ke sisi lain dari negeri ini yang jarang terlihat oleh mata rakyat biasa.

Aku masih ingat hari pertama kali menginjakkan kaki di gedung DPR.
 Bangunannya megah, menjulang, dengan segala hiruk pikuknya. Orang-orang lalu lalang dengan pakaian rapi: jas, batik, sepatu mengkilap. Ada kesan seolah-olah setiap langkah di sana membawa beban bangsa. Aku, dengan kemeja sederhana, mencoba menyesuaikan diri. Ada rasa bangga sekaligus gugup: apakah aku cukup layak berada di sini?

Hari-hari pertamaku penuh dengan rasa ingin tahu. Aku belajar bagaimana ritme kehidupan para wakil rakyat. Dari pagi hingga malam, rapat tak pernah berhenti. Ada rapat komisi, rapat fraksi, rapat internal, hingga rapat yang sekadar membahas jadwal rapat berikutnya. Kadang aku tertawa sendiri, menyadari betapa banyak energi terbuang hanya untuk menyusun agenda. Tapi di balik itu, aku juga melihat betapa seriusnya orang-orang memperjuangkan kepentingannya masing-masing.

Sebagai staf, tugasku sederhana tapi melelahkan. Menyusun bahan, menulis catatan, menyiapkan data, hingga kadang menjadi semacam “penjaga” agar atasanku selalu siap menghadapi apapun. Aku menulis pidato, merancang argumen, bahkan kadang menjadi tempat curhat ketika tekanan politik terlalu berat. Dari sana aku belajar bahwa menjadi wakil rakyat bukan hanya soal berbicara lantang di podium, tapi juga soal bagaimana menghadapi badai kritik, gosip, dan intrik yang tak pernah berhenti.

Ada satu hal yang selalu kuingat: betapa besarnya jarak antara rakyat dengan wakilnya. Dari kursi staf, aku bisa melihat bagaimana janji-janji yang dulu diumbar di masa kampanye seringkali kandas begitu saja ketika berhadapan dengan realitas politik. Aku sering mendengar telepon masuk dari konstituen: permintaan bantuan sekolah, biaya rumah sakit, atau sekadar janji pertemuan yang tak pernah terwujud. Seringkali, aku yang harus menjawab dengan bahasa diplomatis, menenangkan mereka yang kecewa.

Di sisi lain, aku juga menyaksikan bagaimana kekuasaan bisa mengubah orang. Ada anggota yang dulunya sederhana, kini berjalan dengan kepala tegak, sulit dijangkau bahkan oleh orang-orang terdekatnya. Ada yang dulu begitu rendah hati, kini sibuk mengatur siapa yang boleh duduk di meja makan yang sama. Semua itu membuatku sadar bahwa politik bukan sekadar panggung besar, tapi juga cermin yang memperlihatkan wajah asli manusia.

Namun, bekerja di DPR tidak hanya membuatku lelah dan sinis. Ia juga memberiku pelajaran berharga: tentang pentingnya komunikasi, tentang bagaimana satu kalimat bisa menentukan arah kebijakan, tentang bagaimana data dan fakta bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada pedang. Aku belajar menulis dengan rapi, berpikir cepat, dan berdiri tegak meski kadang keyakinan di dalam dada berguncang.

Di luar gedung megah itu, hidupku juga berjalan. Aku masih seorang suami dan ayah, yang pulang ke rumah dengan cerita-cerita dari dunia yang jauh berbeda dengan kenyataan di dapur. Kadang aku membawa oleh-oleh kecil untuk anak, sekadar cokelat atau mainan murah, agar mereka tahu bahwa ayah mereka tidak pernah melupakan mereka meski sibuk di tengah hiruk pikuk politik. Istriku, dengan kesabarannya, selalu menjadi penopang. Ia mendengarkan keluh kesahku, bahkan ketika aku sendiri bingung bagaimana menguraikannya.

Ada malam-malam ketika aku duduk di teras rumah, menatap langit Jakarta yang jarang sekali bertabur bintang. Aku bertanya pada diriku sendiri: sampai kapan aku akan berada di dunia ini? Apakah aku benar-benar ingin menjadi bagian dari politik, atau hanya sekadar numpang lewat? Dalam hati, aku tahu aku tidak bisa selamanya menjadi staf. Aku ingin sesuatu yang lebih nyata, sesuatu yang bisa kubangun dengan tanganku sendiri.

Dari situlah perlahan tumbuh keinginan untuk mencoba peruntungan di luar. Aku mulai berpikir tentang usaha. Aku membayangkan sebuah warung kopi sederhana, tempat orang bisa berkumpul, berbicara, tertawa, atau sekadar melupakan penat. Kopi, bagiku, bukan hanya minuman, tapi medium. Medium untuk bertukar pikiran, untuk menjalin relasi, bahkan untuk membicarakan politik dengan cara yang lebih santai.

Keputusan itu tidak datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari banyak hal: kelelahan melihat permainan politik yang kadang terlalu kotor, keinginan untuk lebih dekat dengan keluarga, dan harapan untuk hidup lebih tenang. Aku tahu banyak orang akan menganggap itu langkah bodoh—meninggalkan gedung tinggi untuk warung kecil. Tapi di dadaku, ada keyakinan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari gedung besar, melainkan dari ruang kecil yang penuh kehangatan.

Maka, aku mulai menata mimpi baru. Aku berbicara pada istriku, dan seperti biasa, ia mendukung dengan penuh sabar. Aku bercerita pada beberapa teman, sebagian menganggapku idealis, sebagian lagi menganggapku nekat. Tapi aku tidak peduli. Bagiku, inilah jalan yang ingin kucoba.

Aku tidak tahu apa yang menunggu di depan. Tapi aku tahu satu hal: setiap langkah harus kuambil dengan keberanian. Dan keberanian itu, lahir dari rasa cinta—pada keluarga, pada kehidupan yang lebih sederhana, dan pada keyakinan bahwa hidup seharusnya lebih dari sekadar mengejar jabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]