Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Hidup itu aneh. Kadang kita meninggalkan sesuatu yang terlihat gemerlap, lalu memilih jalan sederhana yang penuh resiko. Itulah yang kulakukan ketika aku memutuskan keluar dari lingkaran politik di DPR. Bukan karena aku benci, tapi karena hatiku sudah lelah. Aku ingin mencoba sesuatu yang lebih nyata, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Maka, lahirlah idenya: warung kopi.

Bagi sebagian orang, warung kopi hanyalah tempat jualan minuman. Tapi bagiku, ia lebih dari sekadar bisnis. Ia adalah ruang pertemuan. Kopi itu jembatan, penghubung antara cerita satu dengan cerita lainnya. Dari secangkir kopi, orang bisa tertawa, berdiskusi, atau bahkan menemukan ide besar. Aku percaya, dari sebuah warung kecil, aku bisa menata hidup dengan caraku sendiri.

Aku mulai dengan sederhana. Meja dan kursi seadanya, peralatan terbatas, modal pun pas-pasan. Tapi di hatiku ada keyakinan: kalau aku serius, warung ini bisa tumbuh. Hari-hari pertama penuh semangat. Aku belajar lagi cara menyeduh kopi, mengenal aroma robusta dan arabika, mencoba racikan-racikan yang bisa membuat orang kembali lagi. Aku tersenyum setiap kali ada pelanggan yang berkata, “Kopinya enak, Mas. Besok saya mampir lagi.”

Warung itu tak hanya menjual kopi. Ia menjadi tempat berkumpul kawan-kawan lama, tetangga, bahkan orang-orang baru yang datang sekadar mencari suasana. Kadang diskusinya ringan—tentang bola, tentang harga beras, tentang anak sekolah. Kadang serius—tentang politik lokal, tentang rencana caleg, tentang bagaimana kampung ini harus berubah. Aku duduk di antara mereka, mendengar, kadang ikut bicara. Aku merasa hidupku lebih dekat dengan akar rumput dibandingkan ketika duduk di balik meja staf DPR.

Namun, bisnis bukan hanya soal semangat. Ada hari-hari ketika kursi kosong lebih banyak daripada terisi. Ada malam-malam ketika aku menghitung hasil jualan dan hanya mampu membeli sebungkus beras. Warung kopi tidak selalu ramai, apalagi di saat dompet orang-orang sedang tipis. Seringkali, aku harus menutup warung lebih awal karena dagangan sepi.

Di tengah kondisi itu, tawaran-tawaran dari dunia politik kembali datang. “Mas, bantu saya atur strategi kampanye.” “Mas, tolong siapkan tim relawan di daerah ini.” “Mas, saya butuh orang seperti Anda.” Kata-kata itu menggoda, karena aku tahu dunia itu. Aku paham bagaimana mesin politik berjalan, bagaimana janji bisa dikemas, bagaimana suara bisa dikumpulkan.

Aku pun kembali terjun, kali ini bukan sebagai staf DPR, tapi sebagai “penolong” bagi orang-orang yang ingin mencalonkan diri. Ada yang ingin jadi anggota dewan, ada yang ingin masuk pemerintahan lokal. Tugasnya macam-macam: merancang narasi, menyiapkan bahan, bahkan sekadar menjadi penghubung antara caleg dengan masyarakat.

Dari pekerjaan itu, ada sedikit pemasukan tambahan. Kadang cukup untuk menutup tagihan, kadang tidak seberapa. Tapi setidaknya ada harapan. Aku merasa masih bisa berguna, masih bisa “dipakai” orang. Di sisi lain, warung kopi tetap kujalankan, meski sering harus kutinggalkan ketika ada urusan politik mendesak.

Namun, lama-lama aku merasa berada di persimpangan. Di satu sisi, aku ingin serius membesarkan warung kopi, menjadikannya tempat yang stabil untuk keluargaku. Di sisi lain, dunia politik terus menarik, meski aku tahu betapa keras dan kotor jalannya. Aku seperti orang yang berdiri di dua perahu, dan pelan-pelan keduanya menjauh.

Kehidupan keluarga pun ikut terpengaruh. Istriku, yang setia menemani, mulai khawatir. “Apa kita bisa terus begini?” tanyanya suatu malam ketika kami duduk di ruang tamu yang lampunya redup. Aku hanya bisa terdiam. Bagaimana aku bisa menjawab, sementara aku sendiri bingung ke mana arah yang harus kuambil?

Anak-anakku masih kecil saat itu. Mereka tak tahu pergulatan yang kuhadapi. Bagi mereka, ayah hanyalah ayah—orang yang harus ada di rumah, orang yang seharusnya membawa pulang makanan, orang yang bisa diajak bercanda sebelum tidur. Dan di situlah rasa bersalah mulai tumbuh. Aku merasa belum bisa benar-benar hadir, meski raga ada di samping mereka.

Semakin lama, semakin berat. Utang kecil mulai menumpuk. Warung kopi tidak bisa menutup semua kebutuhan. Urusan politik kadang memberi uang, tapi kadang hanya janji yang tak terbayar. Aku mulai mengandalkan pinjaman, dari kerabat, dari teman, hingga akhirnya dari pinjaman online. Aku tahu itu berbahaya. Bunganya mencekik, aturannya keras. Tapi ketika anak-anak menangis lapar, aku tak punya pilihan lain.

Hari-hari itu seperti hujan deras tanpa henti. Setiap kali aku mencoba berdiri, selalu ada ombak baru yang menghantam. Aku merasa jatuh, terpuruk, bahkan tak jarang menuduh diri sendiri sebagai ayah gagal. Dulu aku pernah berdiri di gedung tinggi, kini aku bahkan kesulitan membayar listrik. Dulu aku pernah menyusun pidato untuk orang besar, kini aku bahkan tak bisa menyusun jalan keluar bagi diriku sendiri.

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang membuatku tidak menyerah sepenuhnya: keluarga. Anak-anakku yang berlari kecil menyambutku sepulang dari warung. Istriku yang tetap setia menyiapkan teh, meski gula di dapur kadang habis. Mereka adalah alasan aku bertahan.

Warung kopi dan politik adalah dua jalan yang sama-sama tak mudah. Aku berdiri di antaranya, bingung, tapi juga belajar banyak. Bahwa hidup bukan hanya soal pilihan besar, tapi juga soal bagaimana kita bertahan dari hari ke hari.

Dan aku tahu, ini baru awal dari jalan panjang yang penuh liku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]