Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang membandingkan harga beras di Indonesia dengan Jepang menimbulkan perdebatan publik. Menurutnya, di Jepang harga beras sudah mencapai Rp100 ribu per kilogram, sedangkan di Indonesia hanya sekitar Rp16.800 per kilogram. Ia menekankan bahwa rakyat seharusnya tidak terlalu cemas karena harga beras nasional masih jauh lebih murah dibanding Jepang.
Pernyataan ini, jika ditelaah lebih dalam, tidak hanya mengandung kekeliruan faktual, tetapi juga memperlihatkan kesalahan berpikir (logical fallacies). Dari perspektif filsafat pengetahuan (epistemologi) dan etika politik, argumentasi tersebut menunjukkan kecenderungan retorika pembenaran alih-alih penjelasan substantif terhadap masalah yang dihadapi rakyat.
Data Harga dan Daya Beli, Mari kita lihat fakta empiris:
Indonesia: harga beras premium rata-rata Rp16.800/kg dan beras medium sekitar Rp15.100/kg (Agustus 2025). Di beberapa daerah, harga bahkan menembus Rp21.100/kg, seperti di Kalimantan Timur.
Jepang: laporan media menyebut harga beras melonjak sekitar 90,7% per Juli 2025, memicu antrean di pasar. Namun tidak ada data konsisten yang mengonfirmasi harga “Rp100 ribu/kg” sebagaimana diklaim Menteri.
Lebih jauh, pendapatan per kapita Jepang berada di atas USD 40 ribu per tahun, sementara Indonesia masih sekitar USD 5.500 per tahun. Dengan daya beli yang jauh berbeda, Rp100 ribu/kg di Jepang tidak bisa disamakan dengan Rp16–21 ribu/kg di Indonesia.
Kesalahan Logika (Logical Fallacies). Dari kacamata logika, terdapat beberapa kekeliruan dalam argumentasi Amran Sulaiman:
1. False Equivalence (Kesetaraan Palsu). Membandingkan harga beras Indonesia dan Jepang seolah-olah setara, padahal konteks sosial-ekonomi sangat berbeda. Ini seperti membandingkan harga secangkir kopi di Paris dengan di Makassar lalu menyimpulkan bahwa hidup di Makassar lebih murah tanpa memperhitungkan daya beli.
2. Red Herring (Pengalihan Isu). Kritik publik diarahkan pada mengapa harga beras di Indonesia naik meski stok melimpah. Namun Menteri justru mengalihkan perhatian ke Jepang, seolah-olah masalah domestik bisa diabaikan karena ada negara lain yang lebih mahal.
3. Cherry Picking (Seleksi Data). Menteri memilih data harga yang mendukung narasinya, tanpa menghadirkan konteks lain: bahwa Jepang memberikan subsidi besar kepada petani, memiliki infrastruktur modern, serta daya beli masyarakat yang tinggi.
4. Ignoratio Elenchi (Jawaban yang Tidak Relevan). Pertanyaan publik adalah: mengapa harga beras naik di Indonesia dan membebani rakyat kecil? Jawaban dengan membandingkan Jepang tidak menjawab inti persoalan tersebut.
Perspektif Filsafat Pengetahuan. Dalam epistemologi, setiap klaim publik perlu diuji berdasarkan kebenaran (truth), koherensi (coherence), dan korespondensi (correspondence).
Kebenaran korespondensial menuntut kesesuaian klaim dengan fakta. Klaim “Rp100 ribu/kg” di Jepang tidak memiliki basis data konsisten, sehingga rapuh secara korespondensi.
Koherensi menuntut konsistensi internal. Klaim “stok beras Indonesia tertinggi dalam 57 tahun” seharusnya koheren dengan realitas harga yang stabil. Namun justru harga terus naik, menandakan adanya kontradiksi.
Kebenaran pragmatis menilai sejauh mana klaim bermanfaat bagi publik. Membandingkan harga dengan Jepang tidak membantu rakyat memahami persoalan dan solusinya, sehingga tidak memenuhi kriteria pragmatis.
Dalam kerangka Karl Popper, argumen Menteri juga bermasalah karena tidak falsifiabl (dapat dipalsukan) atau sulit diuji, tidak ada data rujukan yang bisa diverifikasi. Ia lebih mirip “klaim retoris” daripada “hipotesis ilmiah” yang bisa diuji benar atau salah.
Etika Politik dan Kewajiban Negara. Dalam filsafat politik, pemerintah memiliki tanggung jawab etis untuk menjawab persoalan rakyat dengan kejujuran, bukan retorika pembanding. Aristoteles menekankan pentingnya logos (argumentasi rasional) dalam retorika, bukan sekadar pathos (mempengaruhi emosi).
Membandingkan harga beras dengan Jepang adalah bentuk retorika pathos: membuat rakyat merasa lebih beruntung, tanpa memberikan solusi nyata. Padahal, etika politik menuntut pemerintah untuk transparan, solutif, dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil.
Implikasi Sosial-Ekonomi. Beras bukan sekadar komoditas, melainkan makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Kenaikan harga beras memiliki implikasi luas:
1. Meningkatkan inflasi pangan.
2. Membebani rumah tangga miskin yang 50–60% pengeluarannya untuk makanan.
3. Mengancam stabilitas sosial jika dibiarkan.
Di sisi lain, klaim tentang stok melimpah (4,2 juta ton) dan produksi meningkat (dari 30,6 juta ton pada 2024 menjadi 35,6 juta ton pada 2025) justru memperlihatkan paradoks: jika stok besar, mengapa harga tetap naik? Paradoks inilah yang semestinya dijelaskan Menteri, bukan malah dialihkan dengan perbandingan internasional yang menyesatkan.
Pernyataan Menteri menunjukkan gejala yang dalam filsafat disebut sophistry atau penggunaan retorika untuk meyakinkan, bukan untuk mencari kebenaran. Kaum sofis di Yunani kuno sering dikritik Plato karena mengutamakan kemenangan argumen ketimbang kejujuran intelektual.
Dengan menekankan “murahnya harga beras Indonesia dibanding Jepang”, Menteri seolah meraih kemenangan retoris, namun mengorbankan integritas logika dan fakta. Inilah yang oleh filsuf modern disebut sebagai bentuk epistemic irresponsibility: ketidakbertanggungjawaban dalam menyampaikan klaim pengetahuan kepada publik.
Membandingkan harga beras Indonesia dengan Jepang adalah contoh klasik dari kesalahan berpikir yang bercampur dengan retorika politik. Klaim itu gagal memenuhi standar epistemologis (korespondensi, koherensi, pragmatisme), cacat secara logis (false equivalence, red herring, cherry picking), dan tidak etis secara politik karena mengabaikan kewajiban menjawab masalah rakyat dengan jujur.
Lebih tepat jika pemerintah fokus menjelaskan mengapa harga beras domestik tetap tinggi meski stok melimpah, bagaimana distribusi bisa diperbaiki, serta kebijakan apa yang menjamin keseimbangan antara kesejahteraan petani dan keterjangkauan konsumen.
Rakyat tidak bisa diberi makan dengan perbandingan, melainkan dengan kebijakan nyata. Dalam filsafat moral Kant, ada prinsip kategoris: perlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai objek retorika politik, melainkan subjek yang haknya atas pangan harus dijamin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar