Ada pepatah lama yang sering kudengar: “Hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah.” Tetapi aku tidak pernah membayangkan bahwa ketika roda itu membawaku ke bawah, ia akan menghantamku begitu keras, sampai aku merasa remuk tak bersisa.
Hidupku mulai terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Warung kopi yang dulu kuharapkan jadi penopang keluarga, semakin hari semakin sulit bertahan. Kursi-kursi kosong lebih sering menjadi pemandangan daripada gelak tawa pelanggan. Sementara itu, dunia politik yang kujalani sambil lalu, lebih sering memberiku janji ketimbang kepastian.
Hari-hari berjalan dengan pola yang sama: berusaha keras, pulang dengan wajah lelah, lalu menatap meja makan yang kadang kosong. Aku sering mencoba menyembunyikan rasa sakit itu di depan anak-anak. Aku ingin mereka melihatku tetap tegar, tetap tersenyum. Tapi hati kecil mereka tahu. Anak-anak bisa membaca wajah ayahnya, meski ayah mencoba menutupinya dengan pura-pura kuat.
Listrik rumah kami pernah padam berhari-hari, bukan karena mati lampu, melainkan karena tagihan tak sanggup kubayar. Gelap itu seperti cermin dari keadaanku: seorang ayah yang gagal menjaga terang bagi keluarganya. Air pun sempat terputus. Keran kosong yang meneteskan angin saja rasanya lebih menampar daripada ribuan kata ejekan. Bagaimana mungkin aku, seorang kepala keluarga, membiarkan keluargaku hidup dalam keadaan seperti itu?
Untuk bertahan, aku mulai mencari pinjaman. Awalnya kepada kerabat dekat, lalu teman, lalu semakin jauh. Ada yang menolong, ada yang memberi dengan wajah ragu, ada pula yang menolak. Aku tidak menyalahkan mereka, karena aku pun paham: siapa yang mau membantu orang yang tak jelas kapan bisa mengembalikan?
Ketika semua pintu hampir tertutup, aku menemukan satu jalan: pinjaman online. Mudah, cepat, hanya butuh KTP dan beberapa klik. Aku tahu risikonya besar, bunganya mencekik, tapi saat itu pikiranku hanya satu: bagaimana hari ini bisa bertahan. Anak-anak butuh makan, istriku butuh kepastian, dan aku tidak punya waktu untuk memikirkan masa depan. Besok, biarlah besok.
Namun, keputusan itu seperti menggali lubang di bawah kakiku sendiri. Pinjaman hari ini hanya menutup kebutuhan sesaat, sementara besok aku harus mencari pinjaman baru untuk menutup utang yang lama. Begitu seterusnya, seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Aku mulai dihantui telepon dari debt collector, pesan ancaman, bahkan rasa malu yang semakin dalam.
Di malam-malam sunyi, aku sering duduk sendirian di sudut kamar. Air mata jatuh tanpa kuundang. Aku merasa gagal sebagai suami, gagal sebagai ayah, gagal sebagai manusia. Bagaimana mungkin aku, yang dulu pernah bekerja di DPR, kini bahkan tak mampu membawa segenggam beras ke rumah? Aku sering bertanya pada Tuhan: mengapa jalan hidupku harus seperti ini? Apa salahku, sehingga aku harus menanggung semua beban ini?
Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang membuatku tetap berdiri, meski goyah: keluargaku. Istriku, dengan kesabaran yang kadang membuatku heran, tetap setia di sampingku. Ia tahu betapa aku berjuang, meski hasilnya sering nihil. Ia tidak pernah benar-benar marah, hanya sesekali menegur dengan lembut: “Jangan menyerah, Yah. Kita bisa melewati ini.”
Anak-anakku, dengan kepolosan mereka, menjadi alasan lain untuk tetap bertahan. Ada hari ketika anak sulungku bertanya dengan polos, “Yah, kenapa lampu rumah mati?” Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi saat itu juga aku berjanji dalam hati: aku tidak boleh selamanya seperti ini.
Setiap kali melihat mereka tidur lelap, aku merasa ada pisau yang menusuk dadaku. Aku tahu mereka tidak meminta lahir ke dunia dengan keadaan begini. Mereka hanya butuh cinta, butuh rasa aman, butuh kepastian bahwa ayah mereka ada untuk mereka. Dan aku bertekad, meski jalannya penuh luka, aku akan mencari cara untuk bangkit.
Namun bangkit tidak semudah itu. Setiap hari adalah pergulatan antara harapan dan keputusasaan. Ada pagi ketika aku merasa kuat, siap menghadapi dunia. Tapi ada juga sore ketika aku ingin menyerah, ingin lari jauh dan menghilang. Aku lelah, sangat lelah. Tapi aku tahu, aku tidak boleh menyerah. Karena di belakangku ada empat anak dan seorang istri yang menunggu.
Keterpurukan ini mengajarkanku satu hal: bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Aku pernah berdiri di atas, kini aku terpuruk di bawah. Aku pernah bermimpi besar, kini aku hanya berusaha bertahan. Tapi mungkin, justru di titik inilah aku belajar arti sebenarnya dari hidup.
Bahwa menjadi ayah bukan tentang seberapa banyak uang yang bisa kubawa pulang, tapi tentang seberapa keras aku berusaha, seberapa tulus aku mencintai. Bahwa jatuh bukan berarti kalah, selama aku masih mau bangkit.
Dan meski hari-hari terasa gelap, aku percaya satu hal: di ujung jalan, selalu ada cahaya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar