Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Di Bawah Roda Sang Baracuda

Malam itu Jakarta tidak benar-benar gelap. Lampu-lampu jalan masih menyala, sorot kendaraan masih sibuk menyalakan klakson, dan ribuan rakyat masih menyalakan teriakannya. Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi, suara paling lantang bukan lagi suara rakyat, melainkan deru mesin raksasa yang dijuluki baracuda.

Bentuknya gagah, besarnya seperti rumah kontrakan tipe 36, dan catnya hitam mengkilap seakan baru keluar dari salon kendaraan. Ironisnya, kendaraan yang dibeli dari pajak rakyat itu justru tampil lebih anggun ketimbang kondisi trotoar rakyat yang penuh lubang.

Di sudut jalan, seorang pemuda berjaket hijau neon warna yang biasanya kita kenal sebagai “penyelamat lapar tengah malam” . Namanya Affan. Helmnya masih terpasang, tas ojol di punggungnya masih menggembung, berisi pesanan yang entah sempat sampai atau tidak. Dalam kepalanya hanya ada dua pikiran sederhana: Semoga pesanan ini cepat sampai biar bintang di aplikasi tetap lima, Semoga bisa pulang dengan selamat, karena ibu di rumah pasti menunggu.

Tapi malam itu, hidup di Jakarta ternyata bukan hanya soal rating dan pesanan. Hidup juga soal siapa yang kebetulan lewat di depan baracuda.
***
Kalau ini film Hollywood, mungkin adegannya heroik. Kamera slow motion, Affan menatap gagah, baracuda berhenti terhormat, rakyat bersorak, dan lagu latar menggelegar. Sayang, ini bukan Hollywood. Ini Indonesia, di depan DPR.

Yang terjadi justru mirip komedi slapstick. Affan terjatuh dalam rombongan demonstran, rakyat berteriak, aparat kebingungan, dan baracuda yang seharusnya berhenti… malah maju perlahan, seperti kerbau lapar yang melihat tumpukan jerami.

Sekali hentak, roda baja itu melindas tubuh yang ringkih. Teriakan rakyat pecah, tapi suara ban lebih nyaring. Nyawa melayang, bukan karena peluru, bukan karena pedang, tapi karena teknologi canggih yang katanya untuk “mengayomi masyarakat.”

Drama yang Sudah Dihafal, Besoknya, berita resmi beredar. Polisi minta maaf. Istana minta maaf. Semua pihak “turut berduka cita.” Kata-kata itu meluncur begitu lancar, seolah mereka sudah hafal teksnya.

 “Kami akan tindak lanjuti. Akan ada evaluasi. Akan ada penyelidikan internal.”

Ah, kalimat itu lagi. Kalimat yang sudah seribu kali kita dengar setiap kali rakyat mati. Saking seringnya diulang, kalimat itu sekarang lebih terdengar seperti lawakan garing daripada janji serius.

***
Di jalanan, baracuda berdiri gagah. Tugas resminya: melindungi aparat dari rakyat. Tugas tidak resminya: menakuti rakyat dari dirinya sendiri.

Kini, ada tugas baru: menjadi saksi bisu tragedi. Besi-besi hitamnya mungkin masih menyimpan sisa noda darah. Tapi tenang saja, kalau sudah dicuci di garasi, noda itu hilang, seperti hilangnya nyawa rakyat di catatan sejarah.

Lucunya, kendaraan itu tetap disebut “kendaraan taktis.” Benar juga: taktis sekali memilih korban, memastikan yang terlindas bukan pejabat, bukan pengusaha, bukan anggota DPR—melainkan ojol, anak muda biasa, rakyat kecil yang tidak punya kuasa selain gas motor bebeknya.

***
Beberapa hari setelah tragedi, rakyat berbondong-bondong datang. Ada yang berdoa, ada yang menangis, ada yang marah. Tapi banyak juga yang akhirnya hanya bisa tertawa getir.

“Luar biasa ya negara ini. Kalau lapar, ojol jadi penyelamat. Kalau demo, ojol jadi korban. Besok-besok mungkin ojol juga bisa jadi tameng hidup,” celetuk seorang bapak sambil menggelengkan kepala.

Di dunia nyata, tawa pahit adalah cara paling murah untuk bertahan. Karena kalau marah, percuma. Kalau protes, bisa-bisa dianggap provokator. Kalau diam, tetap bisa jadi korban salah injak pedal gas.

Tragedi ini terjadi saat DPR sedang merayakan ulang tahun ke-80. Gedung megah itu dihias indah, anggota dewan berdandan rapi, kursi empuk dipoles, pidato panjang siap dibacakan.

Di luar gedung, rakyat justru berbaris dalam pesta yang berbeda: pesta asap, pesta teriak, pesta luka. Dan di tengah pesta itulah nyawa seorang rakyat kecil dipersembahkan—bukan kue tart, tapi tubuh yang terhimpit roda.

Hadiah ulang tahun DPR tahun ini luar biasa. Biasanya dapat kue, sekarang dapat korban. Lengkap sudah perayaan.”

Keadilan yang Berat Sebelah : Hukum katanya adil. Simbolnya timbangan. Tapi di negeri ini, timbangan itu sepertinya sudah diganjal batu di sebelah kanan. Nyawa rakyat kecil enteng sekali bobotnya. Sedangkan reputasi aparat dan pejabat, beratnya luar biasa—sampai roda baracuda pun tak sanggup menekan.

Seandainya yang terlindas itu anggota dewan, bisa dipastikan:

Satu malam langsung ada sidang darurat.
Dalam seminggu ada undang-undang baru.
Sebulan kemudian ada tugu peringatan di tengah kota.

Tapi karena yang terlindas hanyalah ojol?
Hasilnya cuma headline sehari, pernyataan maaf, dan janji evaluasi.

***
Di negara ini, rakyat kecil terbiasa dihargai murah.

Kalau ditabrak mobil dinas, cukup diberi amplop belasungkawa.

Kalau kena salah tembak, cukup diberi medali anumerta.

Kalau dilindas baracuda, cukup diberi ucapan maaf nasional.

Lucunya, biaya perawatan baracuda lebih tinggi daripada biaya santunan korban. Padahal tanpa rakyat yang bayar pajak, baracuda itu tidak pernah lahir. Ironi kelas tinggi: rakyat mendanai alat yang akhirnya menggiling mereka sendiri.

***
Affan kini sudah tiada. Ibunya kehilangan anak, teman-temannya kehilangan kawan, dan kita semua kehilangan rasa aman. Tapi negara tetap berjalan seperti biasa. Aparat tetap berjaga, DPR tetap bersidang, baracuda tetap dipoles.

Dan kita, rakyat yang tersisa, mau tidak mau belajar untuk tertawa getir. Karena di negeri ini, tragedi terlalu sering jadi komedi.

Jika besok ada demo lagi, siapa tahu baracuda kembali melintas. Rakyat mungkin sudah siap, bukan lagi dengan spanduk, tapi dengan papan bertuliskan:

 “Hati-hati, rakyat menyeberang.”

Tapi entahlah, siapa yang mau repot membaca? Ban baja jarang bisa mengenal huruf, apalagi nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]