Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Disclaimer : Cerita ini adalah nyata yang dibumbuhi dan disamarkan sedemikian rupa, saya menulisnya hanya sekedar mengabadikan cerita

-------

Ada yang selalu saya rindukan dari masa mahasiswa: aroma nasi kuning yang mengepul di tengah malam, di sebuah sudut jalan Jendral Sudirman, Palopo, sekitar tahun 2009. Sebuah lapak sederhana, hanya dua meja kayu dan lima bangku plastik, tapi di situlah saya menemukan makna tentang perjuangan, keikhlasan, dan kasih yang diam-diam lebih abadi daripada semua teori yang saya pelajari di ruang kuliah Universitas Cokroaminoto.

Sepasang suami-istri paruh baya asal Lombok yang menggelar dagangan itu mungkin tidak pernah membayangkan bahwa lapak kecil mereka akan menjadi bagian penting dari kenangan banyak mahasiswa. Mereka datang ke Palopo sebagai perantau, membangun hidup dari nol, menjadikan malam sebagai ladang rezeki, sementara siang hari ruko tempat mereka berjualan kembali berubah menjadi toko bangunan penuh pasir, semen, dan cat. Dunia mereka hanya terbentang dari ba’da Isya hingga adzan Subuh, tetapi dalam rentang waktu itu, mereka memberi makan banyak perut lapar, dan lebih dari itu, menghangatkan hati-hati muda yang sering kesepian di tanah rantau.

Nasi kuning mereka sederhana. Seporsi lengkap dengan ayam dan telur, dihargai hanya lima ribu rupiah. Pada saat pedagang lain sudah menaikkan harga hingga enam atau tujuh ribu, mereka tetap teguh pada angka itu. Seolah-olah mereka berkata: “Yang penting kalian bisa makan, jangan dulu pikirkan harga.” Dan memang, bagi mahasiswa yang sering kekurangan, harga lima ribu rupiah itu bukan sekadar murah—itu penyelamat. Ada kalanya saya datang jam satu malam, kadang jam tiga, bahkan menjelang Subuh. Saya pernah datang jam empat pagi, tapi hanya mendapati meja kosong karena dagangan sudah habis. Dan setiap kali datang, entah mata si ibu masih melek atau sudah setengah terpejam, sambutannya selalu sama: senyum ramah, seakan rasa lelah tak pernah punya tempat di wajahnya.
Saya sering duduk berlama-lama, tidak sekadar makan, tapi mendengarkan cerita mereka. Si ibu suka bercerita tentang anak gadisnya yang saat itu masih SMA di Palopo, masuk tim basket SMA Negeri 1 dengan semangat tinggi. Ada juga cerita tentang anak lelakinya, kuliah di Universitas Cokroaminoto seperti saya, hanya satu tingkat di bawah. Mereka bercerita dengan penuh kebanggaan, menyebut jurusan dan fakultas dengan detail, seakan setiap piring nasi kuning yang mereka jual adalah langkah kecil untuk mendukung mimpi anak-anak mereka. Saya bahkan sempat mendengar, entah benar atau hanya samar, bahwa ada seorang anak atau kerabat yang menjadi tentara. Saya tidak lagi mengingat jelas, tapi cerita itu selalu terpatri di kepala: seakan sepasang penjual nasi kuning yang berjuang di malam hari ini punya benang merah dengan seragam hijau yang gagah, sama-sama pejuang, hanya berbeda medan.

Namun hidup mereka tentu tidak hanya diisi senyum. Pernah satu malam sang bapak mengalami nasib buruk. Rokok-rokok yang ia jual raib dipalak pemuda mabuk. Separuh dagangan hilang begitu saja, digondol tanpa malu, dan wajahnya tampak muram meski ia berusaha tetap tabah. Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan berhenti menjual rokok. “Lebih baik fokus pada nasi kuning saja,” katanya. Keputusan itu menandai babak baru, di mana nasi kuning bukan lagi sekadar jualan tambahan, melainkan pusat dari seluruh kehidupan mereka. Dan memang, dari situlah lahir sebutan tidak resmi: nasi kuning legend, yang dikenang banyak orang hingga hari ini.

Ada satu kisah yang selalu membuat saya tersenyum kecut bila mengingatnya: utang nasi kuning. Saya pernah berutang hingga delapan puluh ribu rupiah. Bukan semata-mata karena saya tak mau bayar, tapi karena kami benar-benar tidak punya uang, Kak Tandi Lantu Basri, berkata "laparkie, na tidak ada uang", saya berinisiatif, dan memberanikan diri menyampaikan "mba bisakah diutang nasi kuningta". Tanpa banyak tanya si Ibu membungkus sesuai pesanan. Lama-lama, tumpukan “nanti” itu menjadi angka yang besar. Suatu hari, setelah saya bekerja dan punya rezeki, saya berniat melunasi utang itu. Saya bahkan membawa uang lebih, hasil bantuan dari Kak Tandi juga. Saya sodorkan pada si ibu dengan hati tulus. Tapi ia menolak. Dengan senyum yang sama ramahnya, ia berkata: “Saya sudah ikhlas dari dulu. Simpan saja uangmu.” Saya terdiam. Bagaimana mungkin orang yang sehari-hari hidup dari piring demi piring nasi, mampu begitu ringan hati melepaskan haknya? Dari seorang penjual kecil di sudut jalan, saya belajar makna ikhlas yang lebih dalam dari semua teori moral yang pernah saya baca.

Malam-malam di lapak nasi kuning itu bukan hanya tentang mengisi perut. Kadang saya hanya datang untuk menemani mereka berbicara. Obrolan yang sederhana: tentang sekolah anak, tentang kampung halaman mereka di Lombok, tentang betapa sulitnya merantau di kota kecil yang asing. Tapi dalam obrolan sederhana itu ada rasa kekeluargaan yang nyata. Mereka tidak lagi terasa sebagai penjual, melainkan sebagai kerabat jauh yang diam-diam menjaga kami, mahasiswa muda yang sering kehabisan uang tapi tidak boleh kehabisan tenaga.

Setelah bertahun-tahun, waktu membawa saya pada perubahan. Saya lulus, menikah, dan mulai membangun rumah tangga. Tapi setiap kali sempat, saya masih mampir, bukan lagi dengan dompet mahasiswa yang kering, melainkan dengan rindu pada cerita lama. Saya sempat terkejut mengetahui bahwa mereka berhasil membeli ruko sendiri, bahkan sempat membuka warung makan lebih besar di Merdeka, depan SMP 3. Siapa yang mengira, dari dua meja dan lima bangku plastik, mereka bisa perlahan naik menapaki tangga kehidupan? Itu bukan sekadar rezeki, melainkan bukti bahwa konsistensi dan kesabaran memang selalu membuahkan hasil.

Namun, waktu tak bisa ditawar. Beberapa tahun lalu, saya membaca kabar duka dari status Facebook anaknya. Ibu penjual nasi kuning itu telah wafat. Rasanya hati saya tertikam, meski saya tahu kematian adalah kepastian. Ketika kembali ke lapak mereka, anak lelakinya kini yang menyambut. Dengan ramah ia berkata, “Kak, makan?” Saya hanya bisa mengangguk, memesan nasi kuning ayam dengan hati ampela, seperti dulu. Sambil menyendok, ia bertanya, “Kita tauji, meninggalmi ibu?” Saya menjawab lirih, “Iya, tahu. Saya lihat dari story.” Dan dalam hati, saya kirimkan Al-Fatihah.

Yang lucu, sampai hari ini, saya tidak pernah tahu nama lengkap ibu itu. Ia bagi saya hanyalah Tante, Mba, Ibu, atau kadang Macea. Nama lengkapnya hilang dalam ingatan, tapi wajahnya, senyumnya, tutur ramahnya, dan keikhlasannya tidak pernah hilang dari hati.

Hidup memang aneh. Kita sering lupa nama orang, tapi tak pernah lupa kebaikannya. Sepasang penjual nasi kuning asal Lombok itu mungkin tidak akan pernah tercatat dalam buku sejarah Palopo, tapi mereka tercatat dalam sejarah pribadi saya, juga mungkin dalam sejarah banyak mahasiswa lain. Mereka adalah guru yang tidak mengenakan toga, tidak berdiri di podium, tapi dengan setiap sendok nasi, mereka mengajarkan konsistensi, perjuangan, kehangatan, dan keikhlasan.
Kini, setiap kali melintas di Jalan Jendral Sudirman, saya tak lagi melihat dua meja kayu kecil itu. Tapi di kepala saya masih tercium aroma nasi kuning hangat, masih terdengar suara ibu itu yang pelan menyapa: “Silakan, Nak.” Dan saya tahu, jejak mereka tidak pernah benar-benar hilang. Sebab ada doa-doa yang lahir dari hati mahasiswa yang pernah mereka tolong, ada kenangan yang melekat dalam setiap orang yang pernah duduk di bangku plastik mereka.

Sepiring nasi kuning di ujung malam, ternyata bisa menyimpan seribu kenangan. Dan bagi saya, ia akan selalu menjadi pengingat bahwa dalam kesederhanaan, ada kebesaran; dalam perjuangan kecil, ada makna besar; dan dalam pertemuan singkat, ada jejak yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]