Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]


Di Kampung Serius, subuh bukanlah waktu yang sakral dan hening. Di sana, subuh selalu datang lebih cepat dari masjid, lebih nyaring dari ayam jantan, dan lebih bikin deg-degan daripada mimpi buruk. Semua itu gara-gara alarm ponsel Riko.

Alarm itu bukan nada “ting-ting” biasa, melainkan sirine kapal mau tenggelam.
“WOOOOOUUU… WOOOOOUUU…”
Suara itu menggema ke seluruh penjuru kampung, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa sedang ikut dalam film Titanic.

Pak Sarman, lelaki paruh baya yang rumahnya tepat di samping kamar Riko, selalu jadi korban pertama. Baru saja ia membalik badan mencari posisi tidur nyaman, tiba-tiba alarm meraung.
“Ya Allah, ini kampung kebakaran atau kapal karam?” gerutunya sambil menendang bantal.

Ia bahkan sempat suatu kali berlari keluar rumah sambil menenteng ember kosong, siap menyiram kebakaran imajiner. Begitu melihat tetangga lain juga keluar dengan wajah setengah sadar, barulah mereka semua paham: oh, itu cuma alarm Riko lagi.

Ironisnya, sang pemilik alarm—Riko sendiri—tetap tidur nyenyak. Ia terkenal dengan bakat alaminya: bisa tidur bahkan saat dunia sekitarnya ribut. Pernah suatu malam, ada kawin massal kucing di bawah jendela kamarnya, suara “meoong” bercampur teriakan bapak ronda, tapi Riko tetap bermimpi damai.

Alarm itu hanya berhasil membangunkan seluruh kampung, kecuali dirinya.


---

Ibu-ibu yang sedang menanak nasi uduk sudah hafal pola ini. Menurut riset amatir mereka, kalau alarm berbunyi tiga kali berturut-turut, artinya Riko baru akan bangun satu jam kemudian. Kalau berbunyi lima kali, berarti ia benar-benar kesiangan, dan biasanya baru terbangun setelah ibunya berteriak, “Rikooo, ayam tetangga sudah tamat sekolah dasar, kamu belum juga bangun!”

Bapak-bapak kampung pun mulai menjadikan alarm itu sebagai jam resmi.
“Ah, sudah sirine pertama, berarti setengah lima,” kata Pak Dul sambil menguap.
“Kalau sirine kedua berbunyi, waktunya ke masjid,” tambah Pak RT.
Bahkan ada yang bercanda, “Kalau PLN mati, kita bisa pakai alarm Riko buat panggil ronda keliling.”


---

Suatu pagi, alarm berbunyi lebih lama dari biasanya. Tidak berhenti-berhenti, seakan kapal Titanic tidak tenggelam-tenggelam juga. Suaranya menembus tembok, menembus hati, bahkan menembus iman.

Pak Sarman sudah kehilangan kesabaran. Ia mengenakan sarung, sandal jepit, lalu mendobrak pagar rumah Riko. “Ini sudah keterlaluan!” serunya.

Ternyata bukan hanya dia. Dari arah berlawanan datang Bu Yati dengan wajah merah padam, sambil membawa sapu lidi.
“Saya kira ada maling, ternyata alarm bocah ini lagi. Sudah cukup! Saya mau matikan sendiri hapenya.”

Mereka bertiga—termasuk Pak RT yang ikut-ikutan penasaran—akhirnya masuk kamar Riko. Dan apa yang mereka temukan?

Riko tidur telungkup, headset masih terpasang di telinga, dan di layar ponselnya ada tiga alarm berbeda: Alarm Bangun Subuh, Alarm Jangan Malas, dan Alarm Kalau Ini Tidak Bangun, Kamu Keterlaluan.
Lucunya, ketiganya sudah bunyi bersamaan.

“Heran, telinganya dari apa ya, kok bisa tahan sirine begini?” bisik Pak RT sambil menutup telinga sendiri.


---

Sejak kejadian itu, warga menggelar rapat darurat di pos ronda. Topiknya bukan soal jalan bolong, bukan juga soal harga cabe, tapi: “Mengatasi Teror Alarm Riko”.

Pak RT membuka rapat dengan serius. “Saudara-saudara, kita tidak bisa begini terus. Hidup kita diganggu oleh teknologi yang salah sasaran. Alarm itu dibuat untuk membangunkan pemiliknya, bukan seluruh RT!”

“Betul!” sahut warga serempak.

Ada yang mengusulkan solusi: “Bagaimana kalau hapenya kita sita tiap malam?”
Ada juga yang lebih ekstrem: “Atau kita lempar saja ke sumur?”

Tapi ide paling aneh datang dari Pak Dul. “Kenapa nggak kita jadikan saja alarm Riko sebagai tanda resmi? Kita tetapkan jam subuh kampung berdasarkan kapan alarmnya bunyi. Jadi kampung kita punya waktu sendiri, Waktu Alarm Riko (WAR).”

Warga awalnya ketawa, tapi lama-lama mengangguk juga. Karena jujur, mereka sudah terlalu terbiasa dengan sirine Titanic itu.


---

Keesokan harinya, eksperimen dimulai. Begitu alarm berbunyi pukul 4.45, seluruh kampung serentak bangun. Anak-anak disuruh cuci muka, ibu-ibu mulai masak, bapak-bapak siap ke masjid. Hebatnya, semuanya kompak.

Bahkan ustaz masjid sempat berterima kasih dalam khutbah Jumat:
“Syukurlah, jamaah sekarang selalu tepat waktu subuh. Semua berkat… alarm anak Riko.”

Namun masalah baru muncul. Karena alarm Riko kadang berbunyi molor, kadang 5.10, kadang 5.30, jadwal kampung jadi kacau. Pernah satu hari, warga telat buka toko, karena alarmnya tidak bunyi sama sekali. Ternyata hapenya low-bat.

Seketika itu juga, ekonomi kampung hampir lumpuh. Warung sayur buka telat, tukang ojek kesiangan, bahkan pasar tradisional sudah habis pembeli ketika mereka baru datang. Semua gara-gara satu alarm yang mogok.


---

Akhirnya warga kembali rapat darurat. Kali ini, Riko dipanggil langsung.

“Rik, demi ketertiban kampung, kamu harus disiplin dengan alarmmu. Jangan sampai terlambat,” kata Pak RT serius.

Riko menggaruk kepala, bingung. “Tapi… alarm itu kan buat saya sendiri? Kok malah jadi urusan kampung?”

Pak Sarman menjawab ketus, “Karena alarmmu lebih berkuasa daripada jam dinding kami semua!”

Setelah perdebatan panjang, diputuskan bahwa Riko akan tetap jadi “penjaga waktu” kampung, tapi dengan syarat: ia harus memastikan ponselnya selalu dicas penuh dan volumenya maksimal. Sebagai kompensasi, warga memberi subsidi token listrik agar rumahnya tidak pernah mati lampu.


---

Sejak saat itu, Kampung Serius benar-benar hidup dalam waktu unik: Waktu Alarm Riko (WAR). Semua kegiatan masyarakat diatur berdasarkan bunyi alarm Titanic itu.

Lucunya, orang luar kampung sering kebingungan.
“Kenapa kalian sudah makan siang jam sepuluh pagi?” tanya pedagang dari desa sebelah.
“Ya… karena alarm Riko tadi bunyi lebih cepat,” jawab warga enteng.

Kampung Serius akhirnya terkenal. Wartawan datang meliput, menulis berita dengan judul bombastis: “Satu Alarm Mengatur Hidup Satu Kampung”. Bahkan ada dosen universitas yang datang meneliti, menganggap ini fenomena sosiologis unik: bagaimana teknologi pribadi bisa jadi regulasi sosial.


---

Sementara itu, Riko sendiri tetap tidak pernah mendengar alarmnya.
Ia tetap tidur lelap, bangun hanya kalau ibunya mengguncang bahunya sambil berteriak, “Riko! Alarmmu sudah jadi jam nasional kampung, masa kamu sendiri yang tidak tahu jam berapa sekarang?!”

Dan begitulah, tiap subuh Kampung Serius tetap gaduh. Ada adzan, ada ayam jantan, ada suara motor sayur… tapi yang paling dinanti, tetaplah sirine Titanic dari kamar Riko.

Sebab di kampung itu, waktu bukan ditentukan oleh matahari, bukan juga jam dinding, melainkan… oleh ponsel seorang pemuda malas bangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]