Tanggal 18 Agustus selalu terasa seperti hari Senin setelah pesta panjang Minggu malam. Spanduk merah putih mulai diturunkan, balon-balon kempes, panitia lomba panjat pinang sibuk menghitung sisa hadiah sabun colek dan panci. Di televisi, tayangan upacara kemerdekaan sudah berganti jadi sinetron penuh tangisan. Indonesia, secara seremoni, merdeka. Tapi rakyat? Ah, itu urusan belakangan.
Merdeka memang gampang diucapkan, cukup tiga suku kata: mer-de-ka. Namun sulit ditemukan dalam kantong petani yang menjerit karena harga pupuk naik lebih cepat daripada doa naik ke langit. Sulit juga ditemukan di meja rakyat kecil yang harus mengatur lauk tempe agar cukup sampai akhir bulan, sementara di meja pejabat, daging wagyu datang dengan senyum pramusaji berjas hitam.
Dewan Paling Rajin… Saat Tidur
Mari kita mulai dengan gedung megah di Senayan. Gedung itu seolah jadi hotel berbintang bagi para wakil rakyat yang rajin sekali… tidur saat rapat. Katanya mereka adalah representasi rakyat. Tapi entah rakyat mana yang mereka wakili. Kalau rakyat tidur, ya karena lelah kerja seharian. Kalau anggota DPR tidur, ya karena lelah… menghitung proyek.
Konon, kursi empuk DPR itu dilapisi dengan busa impor. Pantas saja banyak yang terlelap. Ironisnya, setiap kali disorot kamera, mereka selalu tersenyum, seakan tidur itu adalah ibadah negara. Rakyat boleh menangis karena harga kebutuhan pokok merangkak naik, tapi di ruang sidang, mendengkur dianggap hak konstitusional.
Raja Kecil di Lumbung Negeri
Menteri-menteri ini hobi sekali bicara soal “kesejahteraan rakyat”, tapi faktanya, mereka lebih rajin menyejahterakan keluarga. Jika rakyat butuh pupuk, jawabannya “sabar, anggaran terbatas.
Dan rakyat pun hanya bisa gigit jari. Bukan karena kebanyakan makan kacang, tapi karena memang lapar dan tidak punya akses ke lahan yang sudah dijarah investor dengan restu pejabat.
Raja Tanpa Mahkota
Jangan kira cerita ini hanya milik pusat. Di daerah, pejabat lokal tampil bak raja kecil. Tanah rakyat bisa berubah jadi perkebunan sawit dalam semalam, lengkap dengan surat izin yang ajaibnya terbit lebih cepat dari surat kelahiran bayi.
Kepala daerah tersenyum di baliho besar bertuliskan “Membangun Bersama Rakyat”. Tapi di belakang layar, ia justru membangun rekening bersama kolega. Dan rakyat? Tinggal di pinggir jalan, memandangi lahan leluhur yang kini dijaga satpam berseragam hitam.
Harga Pupuk, Komedi Tragis Petani
Tak ada satire Indonesia tanpa menyebut pupuk. Barang putih kecil itu lebih sulit dijangkau petani daripada bintang di langit. Harga pupuk melonjak, stok menghilang seperti mantan gebetan saat ditagih utang.
Pemerintah selalu bilang: “Kami punya program subsidi pupuk.” Tapi subsidi itu ibarat pacar LDR, statusnya ada tapi wujudnya entah di mana. Petani antre panjang, pulang hanya membawa nota kosong. Sementara mafia pupuk sudah pesta pora di belakang gudang.
Yang tragis, pejabat selalu bilang, “Kita harus swasembada pangan!” tapi mereka lupa, petani tak bisa menanam padi hanya dengan pidato. Sawah tidak tumbuh subur dengan retorika, tapi dengan pupuk yang nyata.
Olahraga
Kalau sepak bola disebut olahraga rakyat, maka korupsi pantas disebut olahraga pejabat. Dari Sabang sampai Merauke, dari DPR pusat sampai perangkat desa, olahraga ini dijalankan dengan penuh semangat juang. Tak peduli apakah anggarannya untuk pembangunan jalan, bantuan bencana, atau dana pendidikan, semuanya bisa disulap jadi mobil baru.
Yang lebih ajaib, tersangka korupsi selalu berkata, “Saya dizalimi, ini konspirasi politik.” Seakan-akan mencuri uang rakyat itu adalah bagian dari ibadah.
Dan rakyat, sekali lagi, hanya jadi penonton. Bedanya, tiket menonton korupsi ini mahal: dibayar dengan pajak, dengan kesusahan, dengan masa depan anak-anak yang putus sekolah.
Merdeka dari Apa?
Setelah seremoni usai, pertanyaan yang tersisa hanya satu: kita merdeka dari apa? Kalau merdeka artinya bebas dari penjajahan, nyatanya kita masih dijajah. Bukan oleh bangsa asing, tapi oleh pejabat sendiri.
Dulu penjajah datang dengan senapan, sekarang penjajah datang dengan jas, dasi, dan tanda tangan. Dulu rakyat diangkut paksa jadi pekerja rodi, sekarang rakyat dipaksa bayar pajak tinggi untuk menutup lobang anggaran akibat korupsi.
Kemerdekaan kini terasa hanya ada di pidato resmi, bukan di dapur rakyat. Bendera boleh berkibar, tapi perut tetap lapar. Lagu kebangsaan boleh dinyanyikan, tapi jeritan petani tenggelam di bawahnya.
Satire di Tengah Realita
Bayangkan, di saat rakyat sibuk lomba balap karung untuk memeriahkan 17 Agustus, pejabat sibuk balap proyek untuk memperkaya diri. Di saat anak-anak senang tarik tambang, para elit tarik-menarik kuasa. Dan di saat ibu-ibu rebutan kue lapis hadiah lomba, pejabat rebutan kursi komisaris BUMN.
Inilah satire terbesar bangsa ini: kemerdekaan diperingati dengan meriah, tapi esensinya tetap disandera.
Merdeka Sungguhan
Meski pahit, satire ini bukan berarti kita harus putus asa. Justru karena kenyataan terlalu absurd, kita butuh tertawa agar tidak gila. Namun tawa ini seharusnya disusul oleh kesadaran: kemerdekaan sejati bukan sekadar seremoni, melainkan keberanian rakyat untuk terus bersuara, melawan penindasan, dan mengingatkan para pejabat bahwa jabatan mereka hanyalah titipan.
Merdeka seharusnya berarti harga pupuk terjangkau, tanah rakyat tidak dijarah, dana publik tidak dikorupsi, dan DPR hadir bukan hanya untuk tidur.
Jika itu tercapai, barulah kita bisa berkata dengan yakin: kita memang merdeka.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar