Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Indonesia hari ini seperti sebuah kereta panjang bernama Republika Ekspres. Relnya dibangun dari utang, besinya dari keringat rakyat, sementara tiketnya dibayar dengan pajak yang semakin hari semakin ganas. Penumpangnya? Kita semua: dari pejabat berjas wangi di gerbong eksekutif sampai rakyat jelata yang berdesakan di gerbong kelas kambing.

Masalahnya, kereta ini tak punya masinis. Atau lebih tepatnya, masinis hanyalah boneka lilin yang dipajang di kabin depan. Kursi empuknya kosong, tuas kendali berdebu, sementara pengeras suara masih rajin bersuara: “Tenanglah, sebentar lagi kita tiba di stasiun kesejahteraan.”

Rekaman itu sudah diputar sejak zaman kakek-nenek kita, dan entah kenapa kita masih percaya. Ironinya, janji itu lebih awet daripada rel kereta sendiri.

---

Gerbong Depan: Surga Para Elit

Di gerbong kelas satu, para pejabat dan pengusaha duduk manis di kursi empuk. Menu makanannya lengkap: steak impor, kopi mahal, bahkan buah langka. Mereka ngobrol hangat soal proyek, tender, dan komisi. Sesekali tertawa geli sambil membaca berita tentang rakyat yang antre beras murah.

Bagi mereka, kereta ini berjalan sempurna. Dari jendela kaca besar, pemandangan selalu indah: sawah hijau, gunung megah, rakyat tersenyum. Padahal semua itu cuma layar LED yang dipasang untuk menipu mata. Tapi apa peduli? Toh kursi mereka empuk, perut mereka kenyang, dan rekening terus bertambah.


---

Gerbong Tengah: Rakyat Suruh Sabar

Di gerbong kelas dua, pegawai negeri, buruh, dan pedagang kecil berusaha bertahan. Mereka berdesakan, ada yang duduk, banyak yang berdiri. Harga makanan kereta naik dua kali lipat, tapi pengeras suara bilang: “Ini ujian global, mari kita bersabar.”

Pernah ada penumpang yang protes: “Kenapa harga nasi bungkus lebih mahal dari tiket?” Tapi langsung ditangkap petugas berseragam. Tuduhannya: mengganggu kenyamanan penumpang lain. Bayangkan, lapar dianggap gangguan ketertiban.


---

Gerbong Belakang: Penjara Gelap

Di gerbong paling belakang, suasana lebih mengenaskan. Tak ada jendela, hanya bau keringat dan lapar. Di sini berkumpul petani yang sawahnya digusur, nelayan yang lautnya dirampas, dan anak-anak miskin yang bahkan tak tahu arti kata sejahtera.

Sesekali ada yang mencoba jalan ke depan, tapi selalu dihalangi petugas. “Maaf, tiket Anda hanya berlaku di sini.” Dan bila ada yang nekat melawan, segera dicap radikal, makar, atau minimal tukang bikin onar.


---

Masinis Boneka

Sampai di sini kita tahu: kereta ini tidak benar-benar dikemudikan. Ia berjalan otomatis dengan mesin tua yang diprogram sejak dulu. Masinis? Tidak ada. Yang ada hanyalah patung lilin berpakaian lengkap, dipajang seolah-olah sedang memegang tuas.

Ironinya, setiap lima tahun sekali, boneka itu diganti. Kadang wajahnya lebih muda, kadang lebih tua, kadang lebih ramah, kadang lebih galak. Tapi tetap saja: boneka. Ia tidak bisa mengubah arah, tidak bisa menarik rem, tidak bisa menyelamatkan penumpang bila kereta meluncur ke jurang.

Dan rakyat tetap bersorak, seakan-akan boneka baru adalah penyelamat.


---

Palopo Ekspres

Sekarang mari kita lihat miniatur kereta di Kota Palopo. Relnya kecil, tapi polanya sama. Setiap musim pemilihan, calon masinis berjanji kereta akan berhenti di stasiun “kemajuan”. Tapi setelah duduk di kursi depan, mereka malah sibuk memoles cat gerbong, bikin mural, pasang baliho, dan sibuk memastikan wajahnya tampak gagah dari semua sudut pandang.

Kereta Palopo tetap berputar-putar di jalur yang sama. Penumpang sudah hafal pengumuman rekaman: “Kita sedang menuju kesejahteraan. Mohon bersabar.” Saking seringnya diputar, bahkan anak-anak TK bisa menirukan dengan logat yang sama.

Kalau ada kritik sedikit, langsung ada antek-antek yang meradang:
“Hei, jangan ganggu masinis! Beliau sudah kerja keras!”
Padahal kereta mogok, roda berkarat, penumpang kelaparan. Lucunya, di media lokal tetap muncul headline: “Kereta Palopo Melaju Pesat Menuju Masa Depan.” Mungkin masa depan itu maksudnya masa depan para elite, bukan penumpang biasa.


---

Di tingkat nasional, sandiwara lebih megah. Anggota dewan sibuk joget, gaji mereka naik, tunjangan bertambah. Rakyat? Disuruh hemat, disuruh sabar, disuruh kuat. Katanya, “pemerintah sudah bekerja keras.” Kerja keras yang dimaksud barangkali adalah kerasnya menahan tawa saat menghitung amplop proyek.

OTT KPK kadang bikin hiburan. Seperti episode drama. Satu hari bupati ditangkap, besoknya wakil menteri. Rakyat tepuk tangan sebentar, lalu lupa. Besoknya muncul maling baru. Sistem kereta ini rupanya punya stok maling tak terbatas, seakan-akan korupsi sudah jadi lowongan kerja resmi negara.


---


Lebih Nakal Sedikit

Masalah terbesar dari kereta tanpa masinis bukanlah jurangnya. Masalah terbesar adalah penumpang yang betah dibohongi. Rakyat yang rela antre tiket mahal, rela duduk di kursi keras, rela makan seadanya, asal bisa tetap selfie dengan background “Kereta Menuju Kemajuan”.

Kita terlalu sering tertawa melihat pejabat joget, terlalu mudah terharu melihat pejabat bagi-bagi mie instan, terlalu gampang percaya bahwa baliho lebih nyata daripada perut yang lapar. Kita bukan hanya jadi penumpang; kita sudah jadi figuran setia dalam sandiwara kereta ini.

Maka jangan salahkan masinis boneka. Jangan salahkan pengeras suara dengan rekaman basi. Salahkan diri kita yang terus rela duduk, menunggu stasiun fiktif yang namanya kemakmuran, padahal ujung rel sudah retak.

Sebab lebih menakutkan dari kereta tanpa masinis adalah bangsa yang kehilangan akal sehat, tapi tetap tepuk tangan di gerbong yang meluncur ke jurang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]