Ada luka-luka yang tidak terlihat oleh mata, tapi terasa begitu perih di dada. Luka itu bukan karena tamparan orang lain, melainkan tamparan dari diri sendiri. Aku tahu betul bagaimana rasanya, sebab setiap hari aku menanggungnya: rasa bersalah.
Aku merasa gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami. Aku pernah berjanji dalam hati, bahkan bersumpah di hadapan diriku sendiri, bahwa aku akan menjadi pelindung, penopang, dan sumber kebahagiaan bagi keluargaku. Tapi kenyataan berkata lain. Ada hari-hari ketika aku pulang dengan tangan kosong, ada malam-malam ketika aku hanya bisa menatap wajah anak-anakku yang tertidur tanpa bisa memberi mereka lebih.
Pertarungan batin itu semakin terasa setiap kali aku menatap istriku. Perempuan yang memilih bertahan bersamaku, meski badai hidup terus menghantam. Ia tidak banyak menuntut, tidak sering marah, hanya sesekali menghela napas panjang ketika tagihan datang menumpuk. Aku tahu ia lelah, aku tahu ia ingin hidup yang lebih layak, tapi ia tetap ada di sampingku.
“Tidak apa-apa, Yah. Kita bisa lewati ini,” ucapnya suatu malam, ketika listrik kembali padam. Suaranya lembut, tapi justru membuat dadaku semakin sesak. Bagaimana mungkin ia masih bisa menguatkanku, padahal akulah yang seharusnya menguatkan? Bagaimana mungkin ia masih setia, padahal aku bahkan tak mampu memberi jaminan hari esok?
Ada saat-saat ketika aku ingin menghilang. Aku merasa mungkin keluargaku akan lebih bahagia tanpaku. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku teringat wajah anak-anak. Anak sulungku yang mulai belajar tanggung jawab kecil-kecilan, putriku kedua yang selalu bertanya tentang hal-hal sederhana, si kembar yang tawanya bisa meruntuhkan dinding kesedihan. Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka?
Pertarungan batin itu membuatku sering menangis diam-diam. Lelaki memang sering diajarkan untuk tidak menangis, tapi aku tidak peduli. Air mata adalah satu-satunya cara untuk melepaskan beban yang menyesakkan dada. Di tengah malam, ketika semua tertidur, aku sering berdoa dengan suara serak: “Ya Tuhan, beri aku kekuatan. Jangan biarkan keluargaku hancur karena kelemahanku.”
Yang membuat rasa bersalah semakin berat adalah setiap kali aku harus berbohong kecil demi menenangkan anak-anak. Ketika mereka bertanya, “Yah, besok kita bisa jalan-jalan?” Aku hanya tersenyum dan berkata, “Iya, nanti kalau ayah tidak sibuk.” Padahal yang sebenarnya kupikirkan adalah: dari mana aku bisa dapat uang untuk sekadar membeli bensin?
Aku juga sering merasa tertusuk ketika melihat anak-anak meminta sesuatu yang sederhana. Mainan kecil, jajan di sekolah, atau sekadar buku cerita. Hal-hal yang seharusnya mudah didapat, tapi bagiku terasa seperti beban besar. Ada kalanya aku harus berkata, “Nanti ya, Nak,” sambil pura-pura sibuk, padahal sebenarnya aku sedang menghitung receh di saku.
Semua itu membuatku merasa seperti penipu. Penipu bagi anak-anakku, penipu bagi istriku, penipu bagi diriku sendiri. Tapi sekaligus, semua itu menjadi alasan bagiku untuk terus berjuang. Karena di balik setiap kebohongan kecil itu ada janji besar: bahwa suatu hari aku akan benar-benar bisa memenuhi semua keinginan mereka.
Pertarungan batin itu juga mengajarkanku banyak hal. Aku belajar bahwa menjadi kepala keluarga bukan berarti harus selalu kuat. Terkadang, mengakui kelemahan justru membuat kita semakin manusiawi. Aku belajar bahwa cinta tidak diukur dari materi semata, tapi dari kesediaan untuk bertahan bersama di saat-saat tersulit.
Istriku sering berkata, “Yang penting kita tetap bersama, Yah. Selama ada kamu, aku tidak takut.” Kalimat itu sederhana, tapi bagiku seperti cahaya kecil di tengah gelap. Aku tahu, aku masih punya tempat untuk pulang. Aku tahu, meski aku jatuh berkali-kali, ada tangan yang akan selalu menggenggamku.
Namun, bukan berarti rasa bersalah itu hilang. Ia tetap ada, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah. Bahkan ketika aku tertawa bersama anak-anak, di dalam hatiku ada suara kecil yang berbisik: apakah mereka benar-benar bahagia, atau hanya pura-pura bahagia demi ayahnya?
Pertarungan batin ini tidak pernah benar-benar selesai. Setiap hari adalah medan perang antara rasa gagal dan tekad untuk bangkit. Ada hari ketika aku merasa kuat, yakin bisa menaklukkan semua tantangan. Tapi ada juga hari ketika aku merasa hancur, ingin menyerah, ingin berhenti.
Namun pada akhirnya, aku selalu kembali pada satu hal: cinta. Cinta kepada anak-anakku, cinta kepada istriku, cinta kepada hidup yang meski pahit, tetap berharga. Cinta itulah yang membuatku terus melangkah, meski tertatih.
Mungkin aku belum bisa memberi mereka rumah besar, belum bisa memenuhi semua keinginan, belum bisa membayar semua utang. Tapi aku ingin mereka tahu satu hal: aku mencintai mereka lebih dari apapun. Aku berjuang bukan untuk diriku, tapi untuk mereka.
Dan mungkin, itu cukup sebagai alasan untuk terus bertahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar