“Lulus dari Sekolah Alam Semesta”
Cerita ini adalah Fiksi
Di sebuah negeri bernama Kota Maya—yang penduduknya lebih banyak berdebat di grup WhatsApp ketimbang di balai kota—terpilihlah seorang pemimpin baru: Ibu Siti Marwah, ibu rumah tangga sederhana yang terbiasa mengatur dapur, anak, dan tetangga yang suka minjam panci tanpa balikin.
Ibu Siti bukan tipe politisi konvensional. Slogannya waktu kampanye adalah: “Kalau saya bisa mengatur harga cabai di rumah, saya juga bisa mengatur harga cabai di pasar.” Ajaibnya, warga percaya.
Tapi di balik kesuksesannya, ada sosok Pak Darmo, suami Ibu Siti. Pak Darmo punya ambisi lebih besar dari panci 30 liter. Dulu, sebelum istrinya jadi walikota, ia sempat mencalonkan diri di periode sebelumnya. Kampanye-nya luar biasa: baju seragam, baliho di setiap pohon, dan pidato lantang seperti singa lapar.
Sayangnya, di detik-detik akhir pencalonan, muncul kabar heboh: ijazah Pak Darmo ternyata palsu. Lebih tepatnya, hasil fotokopi ijazah orang lain yang difotokopi lagi, lalu di-scan, lalu dicetak di kertas undangan pernikahan.
Waktu wartawan tanya, Pak Darmo menjawab tenang:
“Bukan ijazah palsu… itu ijazah alternatif. Sekolah saya itu Sekolah Alam Semesta—gurunya angin, bukunya awan, dan kelulusannya diadakan setiap kali hujan turun.”
Warga tertawa, tapi KPU tetap tidak meloloskan namanya.
Nah, sejak Ibu Siti jadi walikota, Pak Darmo mulai aktif memberi “masukan” untuk kebijakan kota. Misalnya:
Saat membahas anggaran pendidikan, Pak Darmo usul agar semua siswa ujian pakai “open neighbor” —boleh tanya ke tetangga, biar lebih guyub.
Saat membahas transportasi, ia mengusulkan jalan satu arah diubah jadi jalan “bebas arah” supaya warga lebih kreatif menentukan jalur.
Ibu Siti, yang sabar luar biasa, selalu menanggapi diplomatis:
“Masukan Bapak sangat… unik. Nanti kita simpan di laci ide masa depan.”
Lama-lama, warga sadar bahwa keberadaan Pak Darmo ini bagaikan sambal di sayur asem: kadang bikin pedas, kadang bikin segar, tapi kalau kebanyakan… bikin perut panas.
Namun ada satu hal yang tak bisa dipungkiri: meski ijazahnya palsu, semangatnya tulus—walaupun sering nyasar.
Akhirnya, suatu malam, saat makan malam sederhana di rumah dinas, Ibu Siti berkata:
“Mas, biarlah saya yang urus Kota Maya. Mas kan sudah lulus Sekolah Alam Semesta, jadi tugas Mas adalah mengurusi taman rumah… biar minimal lulus lagi tahun depan.”
Dan sejak itu, Kota Maya tetap damai—meski sekali-sekali terdengar suara Pak Darmo memberi kuliah umum pada kucing kampung tentang “pentingnya pendidikan yang fleksibel”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar