Menagih Janji Sukarno: 80 Tahun Indonesia dan Asa Provinsi Tana Luwu
Isnul Ar Ridha
Delapan
puluh tahun sudah Republik Indonesia berdiri di atas fondasi pengorbanan,
harapan, dan keberanian para pendirinya. Namun di tengah gegap gempita perayaan
kemerdekaan, masyarakat Tana Luwu di timur Sulawesi Selatan masih menyimpan
satu tanya besar: kapan janji Sukarno kepada rakyat Luwu akan ditepati?
Tana Luwu, yang kini mencakup Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo, bukanlah wilayah biasa. Sejak awal kemerdekaan, wilayah ini memainkan peran strategis dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Di tengah gejolak pemberontakan DI/TII dan ketidakpastian politik pasca-Proklamasi, rakyat Luwu di bawah kepemimpinan Datu Luwu Andi Djemma dengan lantang menyatakan kesetiaannya kepada Republik. Tanpa syarat. Tanpa pamrih.
Dalam berbagai narasi sejarah lisan, disebutkan bahwa Presiden Sukarno yang kala itu sangat memahami nilai penting Tana Luwu, pernah berjanji bahwa Luwu akan diberikan penghargaan khusus. Ada yang menyebut, Sukarno menjanjikan Luwu akan menjadi provinsi tersendiri bila saatnya tiba. Ada pula yang menyatakan bahwa wilayah ini akan menjadi daerah istimewa, setara dengan Yogyakarta. Janji itu, meski tidak pernah tertulis secara formal dalam dokumen negara, tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Luwu sebagai hutang sejarah.
Sayangnya, janji itu tak kunjung ditepati.
Sudah
delapan dekade berlalu, namun Tana Luwu masih menghadapi problem ketimpangan
pembangunan: jalan-jalan rusak di daerah pedalaman, akses pendidikan dan
kesehatan yang terbatas, serta pengelolaan sumber daya alam yang kerap timpang.
Kawasan ini kaya emas, nikel, kehutanan namun rakyatnya belum semua sejahtera.
Ironisnya,
daerah yang dulu berdiri paling depan membela Republik justru sering berada
paling belakang dalam hal perhatian pemerintah pusat.
Mimpi
akan hadirnya Provinsi Tana Luwu sejatinya bukan sekadar ambisi administratif.
Ia adalah bentuk pengakuan atas sejarah panjang perjuangan, atas jati diri
budaya, dan atas hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Aspirasi ini telah
berkali-kali disuarakan oleh masyarakat, pemuda, tokoh adat, dan pemerintah
daerah. Tapi sejauh ini, suara itu hanya bergaung di ruang aspirasi tanpa
jawaban konkret dari pusat.
apa lagi yang harus dibuktikan oleh rakyat Tana Luwu
agar janji itu ditepati?
Presiden Sukarno pernah berkata, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan itu, kita akan bangun masyarakat adil dan makmur.” Tapi apakah masyarakat Tana Luwu telah sampai ke seberang jembatan itu? Ataukah mereka masih berjalan sendiri di tengah arus pembangunan yang timpang?
Peringatan
80 tahun Indonesia merdeka semestinya menjadi momentum untuk tidak hanya
merayakan apa yang telah dicapai, tetapi juga mengoreksi apa yang belum
ditunaikan. Janji kepada rakyat tidak harus selalu tertulis untuk dianggap sah.
Ada janji-janji moral yang kekuatannya justru terletak pada ingatan dan harapan
kolektif, seperti janji Sukarno kepada Luwu.
Kini saatnya negara hadir kembali, bukan sekadar dalam bentuk proyek, tetapi dalam wujud pengakuan.
Kini
saatnya janji itu ditepati.
Bukan
karena Luwu menuntut, tapi karena Republik ini pernah berjanji.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar