Ki Hajar Dewantara pernah berkata: “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Di balik kalimat sederhana itu tersimpan gagasan besar: pendidikan bukanlah paksaan, melainkan tuntunan; bukan sekadar transfer ilmu, melainkan pembebasan jiwa. Inilah hakikat merdeka secara pendidikan.
Pertama, pendidikan harus mengakui kodrat anak. Tiap anak lahir unik, dengan potensi berbeda. Tugas sekolah dan guru bukan menyeragamkan, melainkan memfasilitasi agar potensi itu tumbuh. Seorang anak mungkin tak pandai berhitung, tetapi mahir berimajinasi. Yang satu tidak cemerlang dalam sains, tapi punya jiwa kepemimpinan. Merdeka pendidikan berarti menghargai keberagaman potensi itu.
Kedua, pendidikan harus berpihak pada kemanusiaan. Ki Hajar menolak sistem kolonial yang hanya mencetak buruh, bukan manusia merdeka. Hari ini, kita pun masih sering terjebak pada jebakan angka: nilai ujian, ranking, sertifikat. Padahal yang lebih penting adalah membentuk manusia berkarakter, beretika, dan berpikir kritis.
Ketiga, pendidikan harus dekat dengan kehidupan. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” bukan sekadar slogan. Filosofi itu mengajarkan bahwa guru dan orang tua adalah teladan, pembangun semangat, sekaligus pendorong agar anak berani melangkah sendiri. Pendidikan yang merdeka berarti tidak menjauhkan anak dari realitas hidupnya, melainkan membekali mereka agar siap menghadapinya.
Kemerdekaan pendidikan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan panjang menuju manusia yang utuh: cerdas pikirannya, merdeka jiwanya, dan luhur budinya. Sebab bangsa yang berjiwa merdeka hanya lahir dari pendidikan yang memerdekakan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar