Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Menulis Ulang Sejarah atau Menghapus Ingatan Bangsa?

Sejarah adalah cermin bangsa. Ia mungkin retak, buram, atau berdebu, tetapi justru di sanalah kita bercermin untuk melihat kesalahan, luka, dan pencapaian. Ketika cermin itu sengaja diganti dengan lukisan pemandangan yang indah, bangsa ini kehilangan kemampuannya untuk menatap wajahnya sendiri.

Hari ini, pemerintah berdalih ingin “meluruskan” sejarah. Kata itu terdengar mulia—meluruskan. Namun, siapa yang memegang penggaris? Siapa yang menentukan mana yang bengkok dan mana yang lurus? Dalam politik, “meluruskan” kerap berarti “menyesuaikan dengan garis penguasa.”

Menghapus atau memoles peristiwa kelam seperti tragedi 1965, kerusuhan 1998, atau penculikan aktivis bukanlah merapikan catatan itu atau amputasi memori kolektif. Dan amputasi yang dilakukan negara bukan sekadar tindakan administratif, melainkan upaya sistematis untuk mengatur ingatan rakyat.

Pemerintah yang takut pada masa lalunya sendiri adalah pemerintah yang tidak layak dipercaya membentuk masa depan. Jika penguasa menggunakan pena sejarah seperti senjata politik, maka buku pelajaran akan menjadi medan propaganda, bukan ruang pembelajaran.

Revisi sejarah memang sah jika didorong oleh penelitian akademik yang independen, bukan arahan birokrat atau tekanan politik. Tapi ketika penguasa merangkap sebagai editor sejarah, publik patut curiga: apakah ini upaya pencerdasan bangsa, atau sekadar kosmetik politik?

Bangsa ini sudah terlalu sering dipaksa meminum racun manis: narasi masa lalu yang dipoles agar terasa nyaman. Tapi racun, meski manis, tetap membunuh perlahan dan bangsa yang kehilangan ingatannya akan mati tanpa sempat menyadarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]