Sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda. Tidak ada babak penting dalam perjalanan bangsa ini yang absen dari peran mereka. Pemuda selalu muncul sebagai motor penggerak perubahan, penggugat status quo, dan pendorong lahirnya ide-ide baru. Mereka adalah gelombang yang berulang kali mengguncang pantai sejarah, terkadang tenang, terkadang meledak seperti ombak besar yang mengubah arah zaman.
Sejak awal abad ke-20 hingga hari ini, pemuda Indonesia memikul peran ganda: sebagai agen pembaruan sekaligus cermin kegagalan kolektif. Mereka menyalakan api, tetapi sering pula gagal menjaga nyala itu tetap konsisten. Mereka menorehkan capaian monumental, tetapi juga kerap tergelincir dalam fragmentasi dan kooptasi.
Budi Utomo ke Jong-Jong
Awal abad ke-20 menandai lahirnya generasi muda yang memiliki akses pada pendidikan modern. Kaum terpelajar bumiputra mulai mengenal sekolah menengah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul kesadaran baru: bahwa penjajahan tidak bisa dibiarkan.
Pada 20 Mei 1908, berdirilah Budi Utomo, organisasi yang didirikan oleh mahasiswa STOVIA, sekolah kedokteran di Batavia. Tokoh-tokoh seperti dr. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo menjadi pelopornya. Budi Utomo memang masih terbatas pada kalangan priyayi Jawa dan fokus pada pendidikan serta kebudayaan, tetapi inilah organisasi modern pertama yang menyalakan api kebangkitan.
Setelah Budi Utomo, lahir organisasi-organisasi pemuda lain yang berbasis kedaerahan: Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Dari nama-nama itu jelas terlihat, kesadaran nasional belum bulat. Pemuda masih mendefinisikan dirinya berdasarkan etnis, daerah, dan agama.
Namun, jika kita lihat lebih dalam, justru dari keberagaman inilah muncul proses dialektika identitas. Pemuda belajar bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa dilakukan secara terpisah. Perpecahan hanya akan melemahkan.
Sumpah Pemuda 1928 menjadi Identitas Nasional, Tonggak paling penting dalam sejarah pemuda Indonesia adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II yang digelar di Batavia mempertemukan berbagai organisasi pemuda. Dalam forum itu, mereka melahirkan ikrar yang monumental: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa – Indonesia.
Kongres itu bukan sekadar pertemuan formal. Ia adalah momen kesadaran kolektif. Pemuda menyadari bahwa identitas etnis, agama, dan daerah harus dilebur demi sesuatu yang lebih besar: bangsa Indonesia. Di situlah untuk pertama kali lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman diperdengarkan. Lagu itu menjadi semacam doa dan janji bagi generasi muda: bahwa bangsa ini akan berdiri di atas kaki sendiri.
Sumpah Pemuda adalah capaian luar biasa. Namun, ia juga menyimpan ironi. Setelah kongres, organisasi pemuda masih tetap banyak yang berbasis kedaerahan. Sumpah Pemuda lebih merupakan simbol pemersatu ketimbang realitas sosial. Dengan kata lain, persatuan itu dideklarasikan, tetapi belum sepenuhnya dihidupi.
Sejarah kemudian mencatat peran pemuda yang tak tergantikan menjelang kemerdekaan 1945. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, terjadi perdebatan antara golongan tua dan golongan muda mengenai waktu proklamasi. Golongan tua yang diwakili Soekarno-Hatta ingin menunggu keputusan resmi, sementara golongan muda mendesak agar proklamasi segera dilakukan.
Perbedaan pandangan itu memuncak pada Peristiwa Rengasdengklok (16 Agustus 1945). Soekarno dan Hatta “diculik” oleh pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu restu Jepang. Aksi itu menunjukkan keberanian pemuda untuk mengambil risiko sejarah.
Hasilnya jelas, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tanpa desakan pemuda, bisa jadi momentum itu tertunda. Inilah capaian terbesar pemuda: menjadi katalis percepatan lahirnya republik.
Namun, di sisi lain, pemuda pasca-proklamasi menghadapi tantangan koordinasi. Banyak yang membentuk laskar-laskar bersenjata yang tidak selalu selaras dengan tentara reguler. Kadang terjadi konflik antar-laskar, yang justru melemahkan perjuangan. Ini menunjukkan bahwa api semangat tidak selalu diimbangi dengan kedewasaan strategi.
Pasca kemerdekaan, pemuda tidak lagi menghadapi kolonialisme, melainkan perdebatan tentang arah bangsa. Mereka terbagi ke dalam organisasi dengan basis ideologi beragam: nasionalis, Islam, komunis, dan lainnya.
Periode ini memperlihatkan bagaimana pemuda menjadi arena pertarungan ideologi besar (1945-1965). Mereka aktif dalam perdebatan, demonstrasi, hingga pertarungan politik jalanan. Pemuda berhasil memperkaya dinamika demokrasi, tetapi juga gagal menjaga persatuan. Mereka sering menjadi alat elite, bukan aktor mandiri.
***
Ketika krisis ekonomi dan politik melanda di era Soekarno, pemuda kembali turun ke jalan. Mereka melahirkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat): bubarkan PKI, turunkan harga, dan perombakan kabinet.
Gerakan ini mengguncang kekuasaan. Tekanan mahasiswa dan pemuda berkontribusi besar pada jatuhnya Orde Lama dan naiknya Soeharto. Inilah capaian besar: pemuda berhasil menjadi penggugat status quo.
Tetapi, setelah itu banyak pemuda larut dalam kekuasaan. Mereka kehilangan konsistensi. Seperti kata Tan Malaka dalam Madilog:
“Idealism is the torch that lights the way, but without organization and discipline, the flame burns out into smoke.”
Kutipan ini menjadi refleksi pahit. Pemuda Indonesia berhasil menyalakan api idealisme, tetapi sering gagal menjaga disiplin dan konsolidasi setelah kemenangan.
***
Nurcholish Madjid (Cak Nur):
“Kemajuan bangsa tidak akan datang dari sikap patuh membuta kepada kekuasaan, melainkan dari keberanian berpikir bebas dan bertanggung jawab.”
Masa Orde Baru adalah masa ujian berat bagi pemuda. Pemerintah membentuk KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) untuk merangkul organisasi pemuda, tetapi pada praktiknya ia menjadi alat kooptasi kekuasaan. Pemuda diarahkan untuk mendukung pembangunan ala Orde Baru, bukan untuk mengkritik.
Namun, di balik itu, mahasiswa tetap menjaga api perlawanan. Peristiwa Malari (1974) adalah salah satu buktinya. Mahasiswa menolak dominasi asing dalam ekonomi, terutama Jepang. Gerakan mahasiswa kemudian terus menyuarakan isu demokrasi, HAM, dan keadilan sosial.
Sayangnya, banyak organisasi pemuda resmi kehilangan daya kritis. Mereka menjadi perpanjangan tangan penguasa.
Momen paling monumental setelah Sumpah Pemuda adalah Reformasi 1998. Krisis ekonomi, otoritarianisme, dan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) membuat mahasiswa turun ke jalan. Mereka menduduki gedung DPR/MPR, menuntut perubahan total.
Tragedi Trisakti (12 Mei 1998), di mana empat mahasiswa gugur, menjadi titik balik. Gelombang aksi di berbagai daerah semakin besar, hingga akhirnya Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Capaian pemuda pada masa ini jelas monumental: mereka berhasil menumbangkan rezim otoriter. Namun, setelah reformasi, semangat kolektif itu memudar. Gerakan pemuda terfragmentasi. Banyak tokoh muda masuk ke politik praktis, tetapi gagal menjaga idealisme. Reformasi yang diimpikan bersih dari KKN justru melahirkan praktik-praktik lama dalam wajah baru.
***
"Revolusi tidak boleh berhenti di tengah jalan. Pemuda harus jadi lokomotif yang terus bergerak, bukan hanya percikan api yang segera padam.” Tan Malaka
Kini, di abad ke-21, pemuda menghadapi medan perjuangan yang berbeda. Mereka tidak lagi mengangkat senjata, melainkan menguasai teknologi, kreativitas, dan ruang digital.
Capaian pemuda masa kini dapat dilihat dari lahirnya banyak start-up unicorn, gerakan lingkungan, komunitas kreatif, hingga aktivisme media sosial. Pemuda Indonesia kini hadir di panggung global.
Namun, ada sisi gelap. Pemuda kerap terjebak dalam politik identitas, penyebaran hoaks, budaya instan, dan polarisasi digital. Banyak gerakan hanya viral sesaat di media sosial tanpa tindak lanjut nyata.
Harapan Menuju 2045, Sejarah pemuda Indonesia adalah kisah cahaya dan bayangan. Mereka adalah lokomotif perubahan, tetapi juga sering terjebak dalam kooptasi. Mereka penggagas persatuan, tetapi juga kerap terpecah.
Kini, ketika Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, pemuda kembali dihadapkan pada ujian sejarah. Dengan bonus demografi, mereka bisa membawa bangsa ini menuju kejayaan. Namun, itu hanya mungkin jika mereka mampu menjaga idealisme, berpikir kritis, dan menghindari jebakan pragmatisme.
Seperti kata Cak Nur:
“Islam, dan bangsa pada umumnya, hanya akan maju apabila pemudanya berani berpikir, merdeka, dan terbuka terhadap kebenaran, tanpa harus terikat dogma sempit.”
***
Dari Budi Utomo hingga era digital, dari Sumpah Pemuda hingga Reformasi, pemuda selalu hadir di garis depan sejarah bangsa. Mereka melahirkan capaian monumental: persatuan nasional, proklamasi, reformasi. Tetapi, mereka juga gagal menjaga konsolidasi, kerap terpecah, dan sering larut dalam kekuasaan.
Masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh pemuda. Apakah mereka akan tetap menjaga api perjuangan, atau membiarkannya padam? Sejarah telah membuktikan bahwa tanpa pemuda, Indonesia takkan pernah ada.
Kini, sejarah menanti jawaban: apakah pemuda Indonesia mampu membawa bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045 dengan keadilan, kemakmuran, dan martabat sejati?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar