Ada yang pernah mengatakan bahwa politik itu seperti pasar malam, gemerlap lampu, penuh janji hadiah, dan musik yang memekakkan telinga. Orang datang dengan rasa ingin tahu, pulang dengan kantong kosong. Tapi bagi saya, politik lebih mirip sesuatu yang lebih sunyi, lebih licin, lebih berbahaya: pasir hisap.
Sekilas ia tampak jinak. Tanah datar yang ramah, bahkan bisa membuat kita ingin duduk sebentar. Kita menatapnya, lalu menaruh kaki. Lalu setengah langkah berikutnya, tubuh mulai ditarik pelan. Tak ada jeritan. Tak ada guncangan. Hanya ada rasa, terlambat.
Politik di negeri ini persis seperti itu. Orang masuk dengan langkah ringan. Mereka berkata: “Saya hanya singgah.” Atau dengan lebih mulia: “Saya datang demi rakyat.” Tetapi pasir hisap tidak mengenal niat baik. Ia tidak menanyakan apakah Anda datang dengan sepatu baru atau kaki telanjang. Ia hanya tahu satu hal: begitu Anda melangkah, Anda akan tenggelam.
Mereka yang masuk seringkali percaya diri. Mereka pikir bisa menginjak politik tanpa basah, tanpa kotor. Mereka bicara tentang integritas, kesederhanaan, dan cita-cita luhur. Mereka tersenyum sambil menepuk dada: “Saya berbeda.” Tapi siapa yang bisa berbeda, bila tubuh sudah dirangkul oleh butiran-butiran kecil yang licin itu?
Ada cerita tentang seorang kawan lama yang dulu begitu keras menolak politik. Katanya, politik itu kotor. Politik itu busuk. Politik itu hanya untuk mereka yang sudah kehilangan rasa malu. Ia lebih suka mengajar, menulis, dan sesekali turun ke jalan.
Suatu hari ia muncul dengan jas rapi. Di dadanya menempel pin partai. Saya bertanya: “Bagaimana bisa?” Ia tertawa canggung, “Saya ingin memperbaiki dari dalam.” Kalimat lama yang sering kita dengar. Kalimat yang terdengar seperti doa, tapi lebih sering jadi alasan.
Beberapa tahun kemudian, saya melihatnya di televisi. Senyumnya masih sama, tetapi kini ia bicara dengan kalimat panjang yang berliku. Kata “rakyat” keluar berkali-kali, seakan-akan rakyat adalah mantra yang bisa menunda tenggelam. Tetapi saya tahu: ia sudah separuh tubuh masuk ke dalam pasir itu. Mungkin ia sendiri sudah tak merasa, atau pura-pura lupa.
Pasir hisap itu bekerja diam-diam. Ia bukan hanya menelan tubuh, tapi juga menelan ingatan. Mereka yang masuk sering lupa dari mana mereka berasal. Seorang anak desa bisa tiba-tiba fasih berbicara tentang investasi asing. Seorang aktivis bisa tiba-tiba lebih sibuk mengurus tender proyek.
Lucunya, saat kita menunjuk dan berkata: “Kau sudah tenggelam!”, mereka akan membalas: “Tidak. Saya masih berdiri kokoh. Saya berjuang.” Padahal yang kita lihat hanyalah kepala yang muncul, dengan senyum yang semakin aneh.
Barangkali itu memang mekanisme bertahan hidup: menyangkal kenyataan. Sama seperti seseorang yang masuk ke dalam pasir hisap di hutan, tetap menggerakkan tangan, tetap berteriak, walau tahu setiap gerakan hanya membuat tubuh makin karam.
Tapi jangan salah, bukan hanya mereka yang salah langkah. Kita juga sering menonton dengan terlalu antusias. Kita tahu itu pasir, tapi tetap bertepuk tangan ketika ada yang melompat masuk. Kita tertawa ketika mereka bergelut di dalamnya, saling tarik, saling dorong. Kita berkata: “Lihat betapa lucunya mereka!”
Padahal, dari setiap tubuh yang tenggelam, ada harga yang kita bayar. Sebab politik tidak hanya menelan mereka, tapi juga menelan kita secara perlahan, tak terasa. Jalan berlubang, sekolah rusak, listrik padam, pajak naik semuanya adalah gelembung-gelembung udara yang muncul ke permukaan dari pasir yang tak henti-henti mengisap.
Ada satu ironi. Pasir hisap politik bukanlah jebakan yang sunyi. Ia justru ramai. Orang antre untuk masuk. Mereka berbaris, berdesakan, saling sikut, bahkan membayar mahal demi satu kesempatan melangkah.
Mengapa? Karena di dalam sana, meski tenggelam, ada fasilitas. Ada kursi empuk, ada gaji besar, ada mikrofon yang siap mengabadikan setiap janji. Bahkan ketika tubuh setengah terkubur, masih ada kamera yang menyorot dengan hormat. Dan manusia memang makhluk yang mudah tertipu: lebih suka tampak tenggelam dengan terhormat, ketimbang berdiri tegak di luar lingkaran.
Dalam sebuah wawancara lama, Tan Malaka pernah berkata bahwa politik sering jadi tempat di mana cita-cita besar berakhir jadi dagangan kecil. Saya membayangkan, mungkin yang ia maksud adalah ini: cita-cita itu seperti pakaian yang dikenakan sebelum masuk ke pasir. Begitu tubuh karam, pakaian itu basah, kotor, dan pada akhirnya dilepas satu per satu. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang berusaha tetap terlihat gagah.
Dan Cak Nur dengan ironi khasnya pernah mengingatkan, politik tanpa etika hanyalah perebutan kekuasaan belaka. Tapi barangkali, justru itulah yang membuat pasir hisap itu semakin lengket: etika seringkali lebih ringan daripada ambisi, sehingga yang pertama kali terlepas selalu etika.
Kadang saya bertanya, mungkinkah seseorang berjalan di atas pasir hisap tanpa tenggelam?
Mungkinkah ada yang bisa tetap jernih, tetap tegak, meski semua orang lain sudah karam?
Sejarah memberi kita sedikit contoh. Ada tokoh yang sempat menolak, sempat melawan, bahkan sempat keluar. Tapi keluar dari politik tidak berarti bebas. Pasir itu masih menempel di tubuh, di wajah, bahkan di nama mereka. Keluar dari pasir hisap, orang sering tetap berjalan dengan lumpur yang menodai.
Maka kita hanya bisa menertawakan kenyataan ini. Satire adalah cara paling waras untuk menghadapinya. Sebab kalau tidak, kita hanya akan tenggelam dalam kekecewaan.
Kita bisa berkata, politik itu seperti pesta topeng di atas pasir hisap. Orang menari, berpidato, berfoto, lalu sedikit demi sedikit mereka tenggelam. Kita yang menonton akan bersorak, tertawa, bahkan mencatat janji-janji mereka di buku harian. Hingga akhirnya, kita juga sadar, tanah tempat kita berdiri pun pelan-pelan sama rapuhnya.
Di sebuah sore, saya bayangkan seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya. “Ayah, mengapa orang-orang berebut masuk ke situ?” Sang ayah tersenyum getir: “Karena mereka percaya bisa keluar dengan selamat.”
Tapi anak itu, dengan polosnya, mungkin akan bertanya lagi, “Kalau begitu, kenapa tak ada yang benar-benar keluar?”
Pertanyaan sederhana yang selalu tak terjawab.
Mungkin, pada akhirnya, politik memang tak bisa dibayangkan tanpa pasir hisap. Ia bukan tempat kering yang keras, bukan pula panggung yang bersih. Ia adalah ruang di mana manusia diuji bukan oleh musuh, tapi oleh tanah yang mereka pijak. Dan ujian itu jarang dimenangkan.
Kita hanya bisa berharap: ada yang, entah bagaimana, berhasil berdiri di pinggir, menolong yang hampir karam, atau sekadar berteriak: “Hati-hati, itu bukan tanah, itu pasir!” Meski kita tahu, suara itu sering kalah oleh musik pesta dan tepuk tangan.
Politik itu seperti pasir hisap. Bila Anda masuk, jangan berharap keluar dengan bersih. Bila Anda keluar, jangan berharap orang percaya Anda tidak pernah masuk lagi. Dan bila Anda menolak masuk, jangan kaget bila suatu hari tanah di bawah rumah Anda juga perlahan ikut longsor.
Karena pada akhirnya, kita semua, suka atau tidak, berdiri di atas tanah yang sama: rapuh, licin, penuh janji yang bisa menelan kapan saja.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar