Ada sesuatu yang ajaib ketika musik berdentum kencang, ketika tempo semakin cepat, dan tubuh mulai ikut bergerak. Tak peduli di Toraja, di Jawa, atau di lantai dansa kota-kota besar dunia, tubuh manusia selalu menemukan cara untuk menari. Antropolog Marcel Mauss pernah menulis dalam esainya Techniques of the Body (1934) bahwa “tubuh adalah alat pertama dan paling alami dari manusia.” Dari sanalah kita belajar bahwa sebelum kata-kata, tubuh sudah lebih dulu tahu cara merayakan hidup. Musik dengan beat tinggi adalah bahasa yang memanggil tubuh untuk berbicara tanpa suara.
Di tanah Toraja, bahasa tubuh itu menjelma dalam dero. Sebuah tarian lingkaran yang dulunya hadir dalam pesta adat, syukuran panen, atau perayaan keluarga besar. Orang-orang bergandengan tangan, membentuk lingkaran besar, lalu bergerak maju-mundur mengikuti tabuhan gendang dan gong. Tak ada satu pun pemimpin, tak ada satu pun yang lebih tinggi. Semua setara, semua sama. Antropolog Victor Turner menyebut momen ini sebagai communitas, yaitu keadaan ketika struktur sosial mencair, ketika orang tak lagi terikat oleh status, melainkan oleh rasa kebersamaan yang murni. Kini musik dero boleh jadi telah beralih dari gong dan gendang ke organ tunggal, bahkan ke lagu-lagu pop Toraja, tetapi semangatnya tetap sama: tubuh yang bergerak bersama, hati yang seirama, dan kebahagiaan yang lahir dari kebersamaan.
Di Jawa, kita menemukan bentuk lain dari bahasa tubuh itu: joget horeg. Tidak lahir dari ritual adat, melainkan dari hajatan rakyat di bawah tenda sederhana. Musiknya berasal dari organ tunggal dangdut atau campursari, dengan dentuman bass keras, treble yang kadang pecah, dan irama cepat yang menggoda kaki untuk ikut bergerak. Joget horeg tidak pernah menuntut keserasian. Orang boleh menari rapi, boleh asal-asalan, bahkan boleh bergoyang patah-patah seperti robot kehabisan baterai. Justru di situlah letak kelucuannya: semua diterima, semua ditertawakan bersama, dan tak seorang pun merasa malu.
Nietzsche pernah menulis dalam Thus Spoke Zarathustra, “Aku hanya percaya pada Tuhan yang tahu bagaimana menari.” Mungkin, jika ia melihat pesta horeg, ia akan menyadari bahwa tarian ini adalah bentuk vitalitas paling jujur. Tidak ada estetika klasik, tidak ada aturan ketat, hanya ada keberanian untuk bergerak. Joget horeg adalah ekspresi kebebasan yang cair, absurditas yang diterima, dan kehidupan yang dirayakan apa adanya.
Sementara itu, di kota-kota besar, bahasa tubuh itu menemukan rumah baru dalam disko. Dari akar musik elektronik tahun 70-an hingga EDM, techno, dan house di abad ke-21, disko menawarkan dentuman beat konstan yang membuat tubuh hanyut. Lantai dansa dipenuhi cahaya lampu, DJ memutar musik dengan tempo tetap, dan tubuh-tubuh dari berbagai bangsa menari bersama. Émile Durkheim, dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912), menyebut pengalaman seperti ini sebagai collective effervescence—gejolak kebersamaan yang membuat individu larut dalam energi kolektif, kehilangan batas antara “aku” dan “kita.” Disko adalah bentuk modern dari ritual kuno: tubuh-tubuh asing yang tiba-tiba merasa sebangsa karena dihanyutkan oleh dentuman bass yang sama.
Jika dilihat sepintas, dero, horeg, dan disko tampak berbeda. Satu lahir dari adat agraris, satu dari hajatan rakyat, satu dari modernitas urban. Namun ada benang merah yang jelas: semuanya mengandalkan musik dengan beat tinggi. Beat itu bekerja seperti denyut nadi—semakin cepat ia berdentum, semakin tubuh merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Inilah yang membuat dero mampu mengikat langkah orang dalam lingkaran, horeg memancing tawa dan keberanian untuk tampil absurd, dan disko membawa orang hanyut dalam trance modern.
Martha Graham, koreografer besar tari modern, pernah berkata: “Tarian adalah bahasa rahasia jiwa.” Kita mungkin bisa menambahkan: tarian adalah bahasa rahasia kebersamaan. Dalam dero, jiwa-jiwa menyatu dalam lingkaran. Dalam horeg, jiwa-jiwa bebas tertawa atas kekacauan. Dalam disko, jiwa-jiwa larut dalam ritme universal. Semua berbicara dengan tubuh, semua berkomunikasi lewat gerak.
Yang menarik, dalam ketiganya, kesalahan justru menjadi bagian dari pesta. Lingkaran dero kadang terputus, langkah tidak selalu seragam, tetapi tak seorang pun peduli. Joget horeg bahkan menjadikan kekacauan gerakan sebagai sumber utama hiburan. Di disko, orang bisa menari dengan gaya apa saja, asal mengikuti bass yang menghentak dada. Clifford Geertz dalam studinya tentang ritual mengingatkan bahwa setiap praktik budaya adalah model of sekaligus model for kehidupan sosial. Maka kita bisa melihat, dero, horeg, dan disko adalah cermin kehidupan manusia: tidak sempurna, penuh tawa, kadang kacau, tetapi tetap berjalan bersama.
Dari Toraja hingga Jawa, dari desa hingga kota metropolitan, kita belajar bahwa manusia butuh ruang untuk bergerak, untuk menari, untuk merasakan kebebasan. Politik boleh penuh intrik, ekonomi boleh menekan, hidup sehari-hari boleh melelahkan. Tetapi dalam lingkaran dero, dalam tenda horeg, atau di lantai dansa disko, rakyat menemukan kebebasan mereka sendiri. Bukan lewat pidato, bukan lewat janji-janji, melainkan lewat tubuh yang menari bersama.
Durkheim dan Turner mungkin akan menekankan aspek ritual dan solidaritas. Nietzsche akan melihat vitalitas hidup dalam gerak yang bebas. Mauss akan mengingatkan bahwa tubuh memang sejak awal adalah instrumen utama manusia. Dan Graham akan mengulang bahwa tarian adalah bahasa jiwa. Jika semua suara ini kita satukan, maka jelas: tarian bukan sekadar hiburan, melainkan bagian terdalam dari cara manusia merayakan eksistensinya.
Mungkin karena itulah, budaya-budaya ini tak pernah mati. Dero bertahan meski Toraja terus berubah oleh arus modernisasi. Horeg justru menemukan panggung baru di media sosial, diabadikan sebagai hiburan absurd yang viral. Disko pun terus berevolusi, dari New York hingga Ibiza, dari techno hingga EDM. Mereka bertahan bukan karena dipaksakan, melainkan karena memenuhi kebutuhan paling dasar manusia: kebutuhan untuk merasa hidup, untuk merasa terhubung, untuk merasa bebas.
Dan pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan dengan sederhana: kebahagiaan tidak harus sempurna, tidak harus mahal, tidak harus rumit. Ia bisa hadir dalam lingkaran dero yang sederhana, dalam joget horeg yang penuh tawa, atau dalam dentuman disko yang menghanyutkan. Yang penting, ada musik yang berdentum, ada tubuh yang bergerak, ada kebersamaan yang dirayakan.
Nietzsche mungkin benar: hanya Tuhan yang tahu bagaimana menari. Tetapi barangkali, di saat kita menari bersama—dalam dero, horeg, atau disko—kita sedang belajar pada diri kita sendiri: mencipta kebahagiaan dari gerak tubuh, dari ritme, dari kebebasan. Dan di situlah hidup menjadi terasa penuh.
Disclaimer :
Tulisan ini hanya coretan yang penulis hanya membaca beberapa literatur, jika ada yang kurang berkenan penulis memohon maaf.
Isnul

Tidak ada komentar:
Posting Komentar