Di tengah semarak doa dan tilawah, kita disuguhi drama yang barangkali lebih pantas dipentaskan di panggung teater ketimbang dipraktikkan di dunia nyata.
Seorang profesor, gelarnya panjang, otoritasnya mapan, dan sorbannya mungkin harum, menampar santrinya hanya karena satu hal sederhana: tidak salim. Ya, Anda tidak salah dengar.
Seorang remaja yang lupa atau memilih tidak menyalami sang guru, langsung diberi “tausiyah tangan tiga kali putaran”. Di negeri ini, rupanya lupa menyalami lebih berbahaya daripada lupa shalat dhuha, lebih fatal daripada melupakan pembayaran pajak bumi dan bangunan.
Tradisi menyalami guru di pesantren memang bagian dari adab. Tidak ada yang menyangkal. Tetapi ketika adab berubah menjadi alat ukur ketaatan absolut, ia lebih mirip tiket masuk sebuah kerajaan feodal daripada jalan menuju ilmu.
Seorang santri yang keluar lebih dulu tanpa menyentuh tangan sang guru seolah telah melakukan pengkhianatan besar. Padahal mungkin sang santri sedang ingin ke kamar mandi, atau sekadar buru-buru sarapan karena perutnya keroncongan. Tetapi di hadapan seorang profesor yang merasa martabatnya ditentukan oleh cium tangan, alasan apa pun dianggap makar spiritual.
Hukuman pun jatuh: tamparan. Ironis, karena yang semestinya mendidik malah jatuh pada praktik mendidik dengan tangan besi.
Yang lebih lucu adalah bagaimana tamparan ini disulap menjadi dalil pedagogis. “Namanya juga mendidik,” kata sebagian orang.
Di tangan tafsir tertentu, tamparan jadi bagian dari kurikulum tersembunyi pesantren: fiqih tangan, bab thaharah wajah dengan jari profesor. Seakan-akan pesantren bukan lagi surau ilmu, tapi ring tinju spiritual. Santri bukan murid, melainkan sparing partner. Guru bukan pengasuh, tapi promotor pertandingan yang bisa menjatuhkan lawannya kapan saja.
Di negeri ini, gelar “prof” kadang lebih sakral dari doa ibu. Kata “profesor” bukan sekadar gelar akademik, tapi semacam jimat yang membuat orang kebal kritik. Tamparan seorang “prof” lebih mudah dimaafkan karena kita terlanjur menaruh ilmu di menara gading, bukan di hati nurani.
Padahal ilmu seharusnya melembutkan, bukan mengeras. Bukankah Nabi pernah berkata, “Tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidaklah kelembutan dicabut dari sesuatu kecuali merusaknya”? Tetapi kelembutan tampaknya sudah raib dari genggaman sebagian guru. Yang tersisa hanyalah genggaman tangan keras yang hinggap di pipi santri.
Lalu, untuk menambah dramanya, pihak yayasan memberi klarifikasi: sang profesor sedang sakit, katanya, stroke ringan. Maka tamparan dianggap efek samping medis. Oh, betapa bijaknya dalih ini! Seakan-akan penyakit bisa menjadi paspor untuk melakukan apa saja.
Kalau begitu logikanya, mungkin besok ada orang sakit maag lalu menendang murid karena lapar. Atau sakit kepala lalu memukul tetangga. Semua bisa jadi halal kalau kesehatan dijadikan alasan. Tetapi publik tentu tak bisa dibodohi. Kalau benar sakit, mengapa masih memimpin pengajian? Kalau benar lemah, bagaimana bisa tangannya kuat menampar tiga kali?
Yayasan pesantren pun bergerak cepat. Surat keputusan keluar, sang profesor “dinonaktifkan”. Kata yang indah: nonaktif. Bukan dipecat, bukan diberhentikan permanen, tapi sekadar diparkir sementara. Ini ibarat seorang supir bus yang ugal-ugalan lalu menabrak penumpang, tapi perusahaan hanya bilang: “Tenang, sopir kami nonaktif dulu, nanti kalau sudah reda bisa nyetir lagi.” Masyarakat diminta tenang, jangan gaduh. Seolah-olah tamparan adalah masalah sepele, hanya “benturan kecil” di tengah perjalanan panjang pesantren.
Kita harus jujur: ritual salim bukan sekadar tradisi. Di banyak tempat, ia berubah menjadi politik kekuasaan mikro. Santri dipaksa untuk mengafirmasi otoritas guru bukan hanya lewat ilmu, tapi lewat tubuh. Sentuhan tangan menjadi bentuk tunduk, sejenis kontrak sosial diam-diam: saya santri, Anda penguasa. Dan ketika santri absen dalam ritual itu, dianggaplah ia membangkang. Inilah logika feodal yang masih bercokol, bahkan di lembaga pendidikan yang seharusnya memerdekakan.
Publik pun marah. Video dan berita viral, komentar berhamburan. Sebagian mengutuk, sebagian membela. Ada yang bilang ini bentuk penganiayaan, ada pula yang membela dengan kalimat sakti: “Itu bentuk kasih sayang guru.” Kasih sayang macam apa yang diwujudkan dengan menampar wajah remaja? Kalau kasih sayang itu bernama tamparan, maka semua orang tua yang pernah menahan diri untuk tidak memukul anaknya bisa jadi dianggap kurang sayang.
Kasus ini menjadi potret kecil bagaimana kekuasaan sering bersembunyi di balik kata adab dan ilmu. Palopo kini tercatat bukan hanya sebagai kota niaga dan sejarah, tapi juga sebagai panggung satire nasional: kota di mana tidak salim bisa berujung salim pipi tiga kali. Kita diajari bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. Tetapi adab macam apa yang ditunjukkan seorang guru ketika tangannya lebih cepat dari lisannya? Bukankah guru seharusnya memberi teladan dengan kata-kata dan akhlak, bukan dengan telapak tangan?
Kasus ini mengajarkan satu hal: bahwa kekerasan, betapapun dibungkus dengan istilah adab, tetaplah kekerasan. Santri bukanlah samsak hidup, pesantren bukanlah dojo karate, dan profesor bukanlah pelatih tinju. Jika pesantren ingin dihormati, maka hormat itu harus lahir dari keteladanan, bukan paksaan. Jika adab ingin dijaga, maka mulailah dari adab guru kepada murid.
Di Indonesia pada umumnya, berhak tahu bahwa adab bukan alasan untuk menutup mata atas penganiayaan. Tamparan bukan metode pendidikan, melainkan tanda betapa rapuhnya kekuasaan ketika hanya bisa bertahan lewat pukulan.
Pada akhirnya, kenyataan itu sendiri. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi ilmu, seorang profesor bisa kehilangan akalnya hanya karena sepasang tangan kecil tak sempat menyalaminya. Dan kita semua, dengan getir sekaligus geli, hanya bisa berujar: selamat datang di republik salim, di mana cium tangan lebih sakral daripada ciuman ibu di dahi anaknya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar