Kepatuhan pajak adalah pilar penting dalam tata kelola pemerintahan modern. Ia menandai kesadaran warga negara dalam menopang beban pembangunan bersama. Namun, persoalan menjadi pelik ketika kepatuhan itu tidak tumbuh dari kesadaran, melainkan dipaksakan lewat instrumen administratif yang berpotensi menyentuh wilayah pribadi seseorang. Itulah yang kini terjadi di Kota Palopo, setelah terbitnya Surat Edaran Wali Kota Palopo Nomor 100.3.4.3/24/UMUM tertanggal 3 Oktober 2025, tentang Ketaatan dalam Pembayaran Pajak dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi ASN Lingkup Pemerintah Kota Palopo.
Sekilas, surat edaran ini tampak sederhana dan berorientasi baik. Ia mengajak Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjadi teladan dalam membayar pajak kendaraan dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Namun di balik niat baik itu, tersimpan persoalan mendasar tentang cara, kewenangan, dan keadilan kebijakan publik. Surat ini tidak hanya mengatur tata tertib pajak, tetapi juga menyentuh wilayah hak pribadi ASN, membentuk tekanan administratif yang bisa disebut sebagai pemaksaan terselubung dalam bingkai kepatuhan.
Kepatuhan atau Pemaksaan Administratif?
Isi utama surat edaran tersebut menegaskan tiga hal penting:
1. ASN lingkup Pemerintah Kota Palopo yang memiliki kendaraan bermotor dengan pelat luar daerah wajib membayar pajak di wilayah Palopo dan melakukan balik nama kendaraan agar menggunakan kode wilayah “DP”.
2. ASN diwajibkan melampirkan bukti pembayaran pajak kendaraan dan denda tunggakan pajak sebagai syarat pencairan TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai).
3. Kepala perangkat daerah wajib melaporkan kepatuhan bawahannya dalam jangka waktu 30 hari.
Tiga poin ini mengandung dimensi yang berbeda dari sekadar ajakan moral. Ia sudah masuk ke dalam ranah sanksi administratif terselubung, karena hak kepegawaian (TPP) dijadikan instrumen kontrol terhadap perilaku pribadi ASN di luar ranah kedinasan.
Pajak kendaraan adalah urusan individu sebagai warga negara, bukan bagian dari kewajiban struktural ASN kepada pemerintah daerah tempat ia bekerja. Menjadikan bukti pembayaran pajak kendaraan sebagai syarat pencairan TPP sama artinya dengan mengikat hak kerja dengan kepatuhan pribadi di luar jam dinas.
Di sinilah muncul pertanyaan etis:
Apakah pemerintah kota berhak menahan hak penghasilan ASN hanya karena ia belum membayar pajak kendaraan pribadinya?
Dari sudut pandang hukum administrasi, TPP merupakan komponen kesejahteraan ASN yang diatur berdasarkan kinerja, beban kerja, dan capaian disiplin pegawai. Tidak ada peraturan nasional yang menyebutkan bahwa kepemilikan kendaraan atau kepatuhan pajak pribadi dapat dijadikan dasar pencairan atau penundaan TPP. Maka, ketentuan tersebut dalam surat edaran Wali Kota Palopo patut dipertanyakan dasar hukumnya.
Tumpang Tindih Kewenangan: Kota Menyentuh Ranah Provinsi
Polemik lain muncul dari sisi kewenangan. Pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bukanlah pajak yang dipungut oleh pemerintah kota atau kabupaten, melainkan pajak provinsi. Hal ini diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang sebelumnya mengatur pajak daerah dan retribusi daerah.
Dengan demikian, pemerintah kota hanya memiliki peran pendukung administratif dan sosialisatif, bukan otoritatif. Surat edaran Wali Kota Palopo, jika dibaca secara literal, justru menempatkan pemerintah kota seolah-olah sebagai penegak kepatuhan pajak provinsi dengan memberi sanksi administratif internal terhadap ASN. Padahal, kewenangan sanksi pajak ada di tangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi.
Ini menimbulkan problem koordinasi dan potensi pelanggaran hierarki kewenangan. Kota Palopo tidak memiliki dasar legal untuk memaksa ASN melakukan balik nama kendaraan atau mengubah pelat menjadi “DP”. Jika tujuan utama adalah meningkatkan kontribusi PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka arah kebijakan seharusnya dilakukan melalui koordinasi antara pemkot dan Bapenda provinsi, bukan melalui perintah internal yang berdampak pada hak ASN.
Tekanan Politik Simbolik di Tubuh ASN
Surat edaran ini juga menciptakan politik simbolik di tubuh birokrasi. ASN, yang seharusnya bekerja dalam prinsip netralitas dan profesionalitas, kini didorong untuk menunjukkan “loyalitas daerah” melalui pelat kendaraan.
Pelat “DP” menjadi simbol administratif baru dari ketaatan dan kesetiaan ASN kepada kota tempat ia bekerja.
Namun, simbol ini tidak lahir dari kesadaran, melainkan dari kewajiban administratif yang mengandung konsekuensi finansial. Bagi ASN yang baru pindah tugas dari luar Palopo, proses balik nama kendaraan bukan sekadar mengganti pelat, tapi juga membayar pajak progresif, bea balik nama, serta biaya administrasi yang bisa mencapai jutaan rupiah. Ini menjadi beban tambahan bagi ASN yang mungkin baru saja beradaptasi dengan lingkungan kerja baru.
Lebih jauh, kebijakan ini berpotensi menciptakan stigma sosial di antara ASN. Mereka yang belum mengganti pelat kendaraan bisa dianggap tidak loyal atau tidak patuh, padahal persoalannya bisa murni teknis atau ekonomis. Akibatnya, muncul atmosfer birokrasi yang lebih menekankan kepatuhan simbolik daripada profesionalitas substantif. ASN yang baik bukan lagi diukur dari kinerjanya, tetapi dari kode pelat di kendaraan pribadinya.
Paradoks antara Kesadaran Pajak dan Otonomi Daerah
Secara normatif, Pemerintah Kota Palopo berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui instrumen kesadaran pajak. Namun, realitas struktur fiskal Indonesia menunjukkan bahwa daerah kota/kabupaten tidak memiliki banyak ruang fiskal otonom. Sebagian besar pajak besar seperti PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), PKB, BBNKB, hingga Pajak Penghasilan dikendalikan oleh pemerintah pusat atau provinsi.
Dengan demikian, surat edaran ini tampak seperti usaha daerah untuk menegaskan eksistensi fiskalnya di tengah keterbatasan kewenangan. Dalam bahasa lain, ini adalah bentuk frustrasi fiskal daerah yang menumpahkan beban optimalisasi PAD ke pundak ASN sendiri.
Daerah yang tidak punya cukup ruang untuk memungut pajak baru, akhirnya menekan pegawainya untuk menjadi sumber efisiensi.
Namun ironinya, justru di sinilah otonomi daerah diuji: ketika kewenangan fiskal terbatas, pemerintah daerah sering kali terjebak dalam simbolisme administratif yang tidak efektif. Surat edaran semacam ini lebih mudah diterbitkan ketimbang membangun sistem pajak yang transparan dan berbasis data digital yang akurat.
Kepatuhan sebagai Politik Wajah Bersih
Dari sisi politik birokrasi, kebijakan ini juga dapat dibaca sebagai politik citra bersih kepala daerah. Di tahun-tahun menjelang kontestasi politik lokal, wacana “ASN taat pajak” menjadi narasi moral yang menarik. Ia mencitrakan wali kota sebagai pemimpin yang tegas, tertib, dan berpihak pada pendapatan daerah.
Namun, bila dilihat lebih dalam, ini adalah politik kepatuhan yang dangkal. ASN yang taat pajak bukanlah ukuran langsung dari efektivitas birokrasi, apalagi dari keberhasilan pembangunan daerah. Kepatuhan yang dibangun lewat paksaan administratif tidak melahirkan kesadaran jangka panjang, melainkan hanya menimbulkan kepatuhan semu demi memenuhi syarat administratif TPP.
BACA JUGA :
Lebih jauh, kebijakan seperti ini bisa menggerus kepercayaan ASN kepada pimpinan daerah. ASN yang merasa diperlakukan tidak adil bisa mengembangkan resistensi pasif, berupa ketidakantusiasan, penundaan kerja, atau sekadar patuh di atas kertas tanpa semangat kontribusi nyata.
Aspek Hukum dan Potensi Pelanggaran Prinsip Proporsionalitas
Dari aspek hukum administrasi, surat edaran ini berpotensi menyalahi asas proporsionalitas dan asas keadilan. Dalam sistem hukum Indonesia, surat edaran bukanlah regulasi yang memiliki kekuatan memaksa seperti peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Ia bersifat instruktif internal dan tidak dapat menimbulkan hak atau kewajiban hukum baru yang berdampak pada hak kepegawaian.
Dengan menjadikan pajak kendaraan pribadi sebagai syarat pencairan TPP, surat ini telah menambah unsur administratif baru di luar dasar hukum TPP itu sendiri. Hal ini bisa menimbulkan celah gugatan administratif, karena ASN dapat berargumen bahwa haknya ditahan atas dasar syarat yang tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi.
Dalam konteks etika pemerintahan, ini juga melanggar asas reasonableness: keputusan administrasi tidak boleh melebihi kepentingan yang ingin dicapai.
Apalagi, tujuan surat ini adalah mendorong kepatuhan pajak yang sebenarnya dapat ditempuh dengan pendekatan edukatif dan kolaboratif bersama Bapenda Provinsi Sulawesi Selatan, bukan dengan memotong jalur kesejahteraan pegawai.
***
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan efektivitas. Apakah benar ASN yang mengganti pelat kendaraannya akan signifikan meningkatkan PAD?
Jika merujuk pada struktur penerimaan pajak kendaraan di Sulawesi Selatan, ASN di Palopo hanyalah sebagian kecil dari total wajib pajak. Kontribusi fiskalnya relatif kecil dibandingkan sektor swasta dan masyarakat umum. Maka, efek fiskal surat edaran ini akan sangat terbatas — bahkan mungkin tidak terasa dalam rasio PAD secara makro.
Namun dampak sosial-birokratisnya justru besar: menciptakan kerumitan administrasi, beban psikologis bagi ASN, serta menimbulkan ketegangan dalam relasi antara pemerintah dan aparatur bawahannya. Surat yang niatnya meningkatkan PAD justru bisa berbalik arah menjadi sumber keluhan dan sinisme birokrasi.
Membangun Kepatuhan yang Berbasis Kesadaran
Kepatuhan sejati tidak bisa dibangun dengan ancaman administratif. Ia lahir dari kesadaran kolektif bahwa pajak adalah kontribusi terhadap ruang hidup bersama. Oleh karena itu, kebijakan pajak harus menumbuhkan sense of belonging terhadap daerah, bukan sekadar memaksa melalui surat edaran.
Pemerintah Kota Palopo seharusnya dapat menempuh pendekatan yang lebih progresif dan edukatif, misalnya:
Menyediakan insentif bagi ASN yang taat pajak, bukan sanksi bagi yang belum.
Menjalin kerja sama integratif dengan Bapenda Provinsi untuk menyediakan layanan digital balik nama kendaraan di kantor wali kota, agar mempermudah ASN yang ingin patuh.
Mengadakan kampanye kesadaran pajak berbasis kebanggaan daerah, bukan ketakutan terhadap sanksi.
Menggunakan data kendaraan ASN untuk sinkronisasi database pajak daerah tanpa menimbulkan beban finansial langsung bagi pegawai.
Langkah-langkah semacam ini akan jauh lebih membangun kepercayaan publik dibandingkan sekadar perintah administratif yang memotong jalur hak ASN.
BACA JUGA :
Antara Kebijakan dan Kewenangan
Surat Edaran Wali Kota Palopo ini adalah cermin dari ketegangan klasik antara semangat otonomi daerah dan keterbatasan fiskal lokal. Dalam upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah sering kali mencari cara cepat yang tampak efektif di atas kertas. Namun ketika cara itu melampaui batas kewenangan dan hak warga negara dalam hal ini ASN,maka kebijakan kehilangan legitimasi moral dan hukum.
Kepatuhan pajak memang penting, tetapi kepatuhan yang lahir dari paksaan administratif hanyalah kepatuhan semu. Ia tidak menumbuhkan budaya pajak, hanya memupuk rasa tertekan dalam birokrasi. Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini justru melemahkan moral ASN dan mengaburkan batas antara loyalitas birokrasi dan hak individual.
Jika pemerintah kota benar-benar ingin membangun tata kelola pajak yang sehat, maka langkah yang perlu dilakukan bukanlah memaksa ASN mengganti pelat kendaraan, melainkan membangun sistem fiskal yang adil, transparan, dan berbasis kepercayaan. Sebab pada akhirnya, pajak bukan hanya angka yang dibayar ke kas daerah, melainkan cermin dari hubungan antara pemerintah dan rakyat, hubungan yang hanya bisa tumbuh dari kesadaran, bukan ketakutan.
===============
Surat Edaran Wali Kota Palopo Nomor 100.3.4.3/24/UMUM tanggal 3 Oktober 2025 tentang Ketaatan dalam Pembayaran Pajak dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi ASN Lingkup Pemerintah Kota Palopo dapat menimbulkan polemik di beberapa aspek, baik secara administratif, sosial, maupun hukum.
---
Polemik Kewajiban Balik Nama Kendaraan ke Wilayah Palopo
Surat ini mewajibkan seluruh ASN Pemkot Palopo yang memiliki kendaraan bermotor dengan pelat luar daerah (bukan “DP”, kode wilayah Palopo) untuk melakukan balik nama dan mengganti pelat menjadi kode wilayah Palopo.
Masalahnya:
Tidak semua ASN berdomisili tetap di Palopo; sebagian mungkin ASN mutasi dari daerah lain atau memiliki kendaraan atas nama keluarga di luar Palopo.
Proses balik nama dan mutasi kendaraan antarwilayah memerlukan biaya yang tidak kecil (bea balik nama, pajak progresif, biaya administrasi, dll). Ini bisa menjadi beban ekonomi tambahan bagi ASN.
Secara hukum, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun UU Pajak Daerah memang memberi hak daerah untuk menarik pajak kendaraan yang terdaftar di wilayahnya, tetapi tidak memberi kewajiban mutlak bagi ASN untuk mengganti kode pelat hanya karena bekerja di wilayah tertentu.
---
Polemik Terkait Syarat Pencairan TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai)
Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa bukti pembayaran pajak kendaraan dan bebas denda tunggakan menjadi syarat pencairan TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai).
Masalahnya:
Ini bisa dianggap sebagai bentuk pemaksaan administratif yang tidak memiliki dasar hukum eksplisit dalam peraturan ASN atau keuangan daerah.
ASN yang belum mampu membayar pajak atau masih dalam proses balik nama bisa kehilangan haknya sementara atas TPP, padahal TPP adalah bagian dari kompensasi kerja, bukan insentif pajak.
Mekanisme ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan resistensi di kalangan ASN, terutama bagi mereka yang kendaraan pribadinya belum sempat dialihkan ke wilayah Palopo.
---
Polemik Kewenangan dan Prinsip Otonomi
Meskipun niat surat edaran ini adalah meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), ada potensi gesekan kewenangan antarwilayah:
Pajak kendaraan bermotor (PKB) dan BBNKB merupakan pajak provinsi, bukan pajak kota/kabupaten.
Artinya, surat edaran dari wali kota ini mengintervensi kewenangan yang sebenarnya milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dalam hal pengelolaan pajak kendaraan bermotor.
Dari sisi administrasi otonomi daerah, kebijakan ini bisa dipandang kurang tepat sasaran, karena pemerintah kota tidak berwenang langsung memungut PKB, meski dapat mendukung penertibannya.
---
Polemik Etika dan Kepatuhan ASN
Surat edaran ini juga bisa menimbulkan perdebatan etika:
Di satu sisi, niatnya baik: mendorong ASN menjadi teladan dalam taat pajak dan berkontribusi pada PAD.
Namun di sisi lain, dengan cara menjadikan pajak kendaraan pribadi sebagai syarat administratif internal (seperti pencairan TPP), hal ini dapat dianggap melampaui ranah pribadi ASN, sebab kendaraan pribadi bukanlah aset negara.
---
Potensi Masalah Teknis dan Birokrasi
Proses pelaporan, verifikasi bukti pembayaran, dan pengawasan sebagaimana diwajibkan dalam surat edaran ini (melalui Sekretaris Daerah) bisa menimbulkan beban administrasi tambahan bagi unit kerja.
Bila tidak diatur dengan sistem digital yang baik, bisa terjadi keterlambatan pencairan TPP dan ketidakteraturan data.
---
Surat Edaran ini mengandung niat positif — yaitu untuk mendorong kepatuhan pajak dan meningkatkan PAD Kota Palopo.
Namun, polemiknya muncul karena:
1. Menyentuh ranah pribadi ASN (kendaraan pribadi dan domisili pajak);
2. Mengaitkan kepatuhan pajak dengan hak kepegawaian (TPP);
3. Menimbulkan beban ekonomi dan administratif tambahan;
4. Potensi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah kota dan provinsi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar