Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]


Orang bilang cinta diuji ketika dompet kosong. Mungkin ada benarnya. Aku dan istriku pernah mengalaminya, di satu sore yang sampai hari ini masih kami kenang.

Hari itu, uang yang kami punya hanya selembar lima ribu rupiah. Tidak lebih. Tidak ada tabungan di dompet, tidak ada saldo di rekening, bahkan koin pun sudah habis untuk bensin. Lima ribu itu seperti garis tipis antara lapar dan kenyang, antara sedih dan tertawa.

Kami berdiri di depan sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung itu menjual gorengan yang aromanya menguar ke mana-mana. Tahu goreng panas dengan sambal kacang yang menetes-netes. Murah memang, tapi bagi kami saat itu, tetap terasa seperti membeli sesuatu yang mewah.

Aku melirik istriku. Ia hanya tersenyum, meski aku tahu ia juga menahan banyak perasaan. “Beli saja, . Yang penting ada yang bisa dimakan berdua,” katanya pelan. Ucapannya ringan, tapi di baliknya ada kekuatan.

Dengan uang itu, kami membeli beberapa tahu isi yang dibungkus kertas cokelat tipis. Tidak banyak, mungkin hanya cukup untuk sekali makan. Tapi kami bahagia. Ada rasa puas yang aneh, seolah-olah tahu goreng itu bukan sekadar makanan, melainkan hadiah kecil yang kami rayakan bersama.

Namun kebahagiaan itu singkat. Begitu kami naik motor dan melaju di jalan yang agak basah, bungkusan itu terlepas dari tanganku. Semuanya jatuh ke aspal. Tahu goreng yang hangat tadi berantakan, tercampur debu dan air hujan.

Aku berhenti mendadak, menoleh ke belakang. Dadaku langsung sesak. Rasanya seperti seluruh dunia menertawakan kami. Lima ribu yang sudah habis, tahu goreng yang tak bisa diselamatkan, dan perut yang masih kosong.

Aku tidak berani menatap istriku. Ada rasa bersalah, rasa gagal sebagai suami. Tapi sebelum aku membuka mulut, ia malah tertawa kecil. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa yang justru membuat hatiku lega.

“Ya sudah. Anggap saja itu sedekah buat semut di jalan,” katanya sambil menepuk pundakku.

Aku menoleh, dan di wajahnya aku melihat sesuatu yang lebih berharga dari tahu goreng itu sendiri: ketulusan. Ia tidak marah, tidak kecewa, tidak menyalahkan keadaan. Justru ia menguatkan.

Perjalanan pulang malam itu menjadi berbeda. Kami berdua memang lapar, tapi lebih dari itu, kami belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kenyang. Terkadang, kebahagiaan datang dari cara kita saling melihat, saling menenangkan, dan saling menerima keadaan.

Kini, setiap kali kami makan tahu goreng, kenangan itu selalu hadir. Kadang kami tertawa mengingatnya, kadang kami diam sejenak dan bersyukur sudah melewati masa-masa sulit itu. Lima ribu rupiah, yang dulu terasa begitu kecil, justru mengajarkan kami arti besar dari sebuah kebersamaan.

Cinta ternyata tidak butuh pesta mewah atau harta berlimpah. Kadang, cukup dengan selembar uang terakhir dan sepotong tahu goreng yang jatuh di jalan, kita bisa mengerti: selama masih ada pasangan yang mau tersenyum di samping kita, hidup ini tetap indah untuk dijalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]