“Bangsa ini sudah tidak seperti dulu.”
Kalimat itu sering terdengar di warung kopi, di ruang keluarga, bahkan di jagat media sosial. Kita mendengar orang tua mengeluh, anak muda menggerutu, akademisi menulis panjang lebar, dan para aktivis meneriakkan tuntutan. Ada kesan yang terus menguat: Indonesia makin hari makin terbelah.
Polarisasi bukan sekadar berbeda pilihan politik atau pandangan. Ia seperti jurang yang kian melebar, memisahkan kelompok masyarakat menjadi “kami” dan “mereka”. Di tengah situasi ini, dua nama besar dalam teori sosial ala Karl Marx dan Émile Durkheim yang masih relevan untuk dibaca ulang. Keduanya memberi lensa berbeda tentang mengapa masyarakat bisa terpecah: Marx dengan teori konflik kelas, dan Durkheim dengan teori fragmentasi sosial.
Dari dua lensa itu, kita bisa memahami bukan hanya apa yang terjadi, tapi juga bagaimana menghadapinya.
Karl Marx: Polarisasi sebagai Konsekuensi Kapitalisme
Karl Marx (1818–1883) dikenal dengan analisis tajamnya tentang kapitalisme. Ia melihat masyarakat selalu terbelah dalam kelas sosial yang ditentukan oleh relasi terhadap alat produksi:
Bourgeoisie → pemilik modal, tanah, pabrik, teknologi.
Proletariat → kelas pekerja yang hanya punya tenaga untuk dijual.
Menurut Marx, kapitalisme menciptakan polarisasi kelas secara sistematis. Semakin lama, segelintir orang menguasai kekayaan, sementara mayoritas hidup dalam keterbatasan. Polarisasi itu tidak sekadar soal “beda kaya dan miskin”, melainkan konflik struktural: kelas atas mempertahankan dominasi lewat hukum, politik, bahkan ideologi, sementara kelas bawah terjebak dalam ketertindasan.
Marx menambahkan satu konsep penting: false consciousness (kesadaran palsu). Artinya, pekerja sering tidak menyadari bahwa dirinya ditindas. Mereka sibuk bekerja, menganggap kondisi itu wajar, bahkan membela sistem yang menindas mereka. Barulah ketika kesadaran kolektif muncul, konflik kelas meledak.
Misalnya di Indonesia, kita melihat jejak teori Marx dalam banyak hal:
1. Relasi buruh–majikan.
Setiap tahun ada aksi buruh menuntut upah layak. Sementara itu, pemilik modal besar tetap meraup keuntungan, bahkan dalam situasi krisis. Ketegangan ini adalah potret konflik kelas yang nyata.
2. Kesenjangan ekonomi.
Data BPS dan laporan Bank Dunia menunjukkan segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Di sisi lain, jutaan rakyat masih hidup dengan upah minim. Inilah polarisasi ekonomi ala Marx.
3. Oligarki politik.
Banyak pemilik modal besar juga menguasai partai politik atau duduk di kursi legislatif. Maka, kebijakan negara sering condong ke kepentingan elite, bukan rakyat. Marx akan menyebut ini sebagai hegemoni kelas berkuasa.
Dengan kata lain, teori Marx membantu kita melihat polarisasi Indonesia sebagai jurang kaya dan miskin, elite–rakyat, pemilik modal–buruh.
Émile Durkheim: Polarisasi karena Retaknya Solidaritas
Berbeda dengan Marx, Émile Durkheim (1858–1917) menyoroti kohesi sosial. Menurutnya, masyarakat bertahan karena ada perekat yang disebut solidaritas sosial.
Durkheim membagi dua:
1. Solidaritas Mekanik → khas masyarakat tradisional, kohesi muncul karena kesamaan nilai, agama, adat, pekerjaan.
2. Solidaritas Organik → khas masyarakat modern, kohesi muncul karena pembagian kerja dan saling ketergantungan.
Masalah muncul ketika solidaritas itu melemah. Di era modern, individu makin otonom, ikatan tradisi melemah, tapi solidaritas baru belum sepenuhnya terbentuk. Situasi ini melahirkan anomie: keadaan tanpa norma, di mana aturan sosial tidak lagi jelas, dan masyarakat kehilangan arah.
Di Indonesia, Durkheim sangat relevan untuk memahami fragmentasi di Indonesia:
1. Kehidupan urban.
Di kota besar, orang tinggal berdekatan tapi saling asing. Hubungan sosial dangkal, lebih banyak sibuk dengan gawai. Solidaritas mekanik melemah, tapi solidaritas organik belum kuat.
2. Politik identitas.
Ketika solidaritas nasional melemah, masyarakat mencari pegangan di identitas sempit: agama, etnis, partai. Polarisasi politik 2014 dan 2019 adalah contoh nyata fragmentasi ala Durkheim.
3. Konflik horizontal.
Bentrok antarwarga, gesekan intoleransi, hingga debat penuh kebencian di media sosial, semua menunjukkan masyarakat terfragmentasi. Kita kehilangan norma bersama sebagai bangsa, terjebak dalam loyalitas sempit.
Dengan kata lain, Durkheim menekankan bahwa polarisasi bukan hanya soal ekonomi (seperti Marx), tetapi karena rapuhnya ikatan sosial.
Indonesia di Persimpangan: Marx + Durkheim
Jika kita gabungkan Marx dan Durkheim, kita melihat Indonesia menghadapi polarisasi ganda:
Marx: Kesenjangan ekonomi → jurang kaya–miskin, elite–rakyat.
Durkheim: Fragmentasi sosial → melemahnya solidaritas, anomie, konflik identitas.
Dua arus ini saling menguatkan.
Ketika kesenjangan ekonomi makin lebar (teori Marx), rasa frustrasi rakyat mudah diarahkan ke polarisasi identitas (teori Durkheim).
Ketika solidaritas sosial rapuh (Durkheim), oligarki makin mudah memainkan politik pecah-belah (Marx).
Inilah kenapa Indonesia sering terasa kacau: kita berhadapan dengan polarisasi struktural sekaligus kultural.
Dampak Polarisasi: Dari Ruang Keluarga hingga Negara
Polarisasi sosial punya dampak berlapis:
1. Di level keluarga.
Kita lihat keluarga pecah gara-gara beda pilihan politik. Grup WhatsApp jadi arena debat tanpa ujung.
2. Di level masyarakat.
Muncul distrust antarwarga. Orang mudah mencurigai yang berbeda agama, etnis, atau afiliasi politik.
3. Di level negara.
Kepercayaan publik pada lembaga negara merosot. Pemerintah dianggap hanya berpihak pada elite. Polarisasi ini menggerogoti legitimasi negara.
Jika dibiarkan, polarisasi bisa berujung pada konflik horizontal atau bahkan disintegrasi.
Apa yang bisa kita pelajari dari Marx dan Durkheim?
1. Dari Marx:
Kita perlu menutup jurang kesenjangan. Reformasi agraria, keadilan distribusi, upah layak, dan pembatasan oligarki adalah langkah penting. Tanpa itu, konflik kelas akan terus membara.
2. Dari Durkheim:
Kita perlu memperkuat solidaritas. Pendidikan kebangsaan, ruang dialog antaridentitas, serta norma sosial yang adil harus diperkuat. Masyarakat butuh narasi pemersatu, bukan sekadar slogan politik.
Dengan kata lain, keadilan ekonomi (Marx) dan kohesi sosial (Durkheim) harus berjalan beriringan. Tidak cukup hanya bicara redistribusi kekayaan, tapi juga membangun solidaritas lintas identitas.
Indonesia adalah negara yang lahir dari keragaman. Para pendiri bangsa tahu betul risiko perpecahan, karena itu semboyan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Namun hari ini, semboyan itu terasa diuji.
Marx mengingatkan kita tentang bahaya jurang kaya–miskin yang bisa meledak jadi konflik kelas. Durkheim mengingatkan bahaya fragmentasi ketika solidaritas rapuh. Kedua teori itu sama-sama berbunyi keras di telinga kita hari ini.
Pertanyaannya, apakah kita mau belajar dari teori itu? Ataukah kita akan terus membiarkan bangsa ini terbelah—antara elite dan rakyat, antara “kami” dan “mereka”—hingga suatu hari polarisasi itu benar-benar memecah kita?
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita semua: membangun jembatan solidaritas, atau menggali jurang perpecahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar