Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Empat kursi sudah ditarik dari panggung parlemen. Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Eko Patrio kini bukan lagi bagian dari DPR. Mereka datang dengan nama besar, tapi pergi dengan reputasi yang patah. Partai NasDem dan PAN bergerak cepat, menyingkirkan mereka seolah sedang merapikan panggung sandiwara yang sudah terlalu gaduh.

Alasannya jelas: pernyataan, tingkah, dan gaya hidup yang menyalakan amarah publik. Rumah mereka diserbu massa, nama mereka jadi bahan olok-olok di media sosial, dan partai merasa tak punya pilihan lain selain mencopot karpet merah dari bawah kursi mereka. Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menyebut, “pernyataan para anggota DPR ini sudah melampaui batas kewajaran. Mereka lupa bahwa ucapan wakil rakyat tidak pernah berdiri sendiri, melainkan mewakili sebuah institusi.”

Tetapi apakah dengan mencopot empat kursi itu masalah benar-benar selesai? Tentu tidak.

Kegaduhan bangsa ini tidak lahir dari satu-dua selebritas yang duduk di Senayan. Demonstrasi yang meledak di berbagai kota Agustus lalu bukanlah semata-mata karena Uya Kuya berjoget atau Sahroni bergaya mewah. Akar keresahan jauh lebih dalam: dari harga beras yang mencekik, dari kebijakan fiskal yang membuat napas rakyat sesak, dari pelayanan publik yang membusuk, dan dari aparat hukum yang lebih keras pada rakyat kecil ketimbang pada elite yang berkuasa.

Itulah sebabnya publik bertanya-tanya: kenapa kursi yang ditarik hanya kursi milik selebritas-politisi, sementara kursi para pejabat inti yang sesungguhnya memegang kendali atas keresahan justru tetap aman?

Mari kita bicara terang-terangan.

Menteri Keuangan, misalnya. Dialah penjaga dompet negara, pengatur arus utang dan pajak. Setiap keputusan darinya bisa langsung terasa di dapur rakyat. Jika pajak dinaikkan secara serampangan, jika utang makin menggunung, bila pernyataan-pernyataannya terkesan dingin dan tak peduli, keresahan pun tak terhindarkan. Tetapi anehnya, kursinya tetap kokoh. Seorang ekonom bahkan berkomentar, “Stabilitas ekonomi tidak bisa hanya diukur dari neraca, tapi dari rasa aman rakyat kecil saat membeli beras di warung. Jika menteri gagal membaca itu, maka stabilitas hanya tinggal angka.”

Lalu ada Menteri Dalam Negeri. Ia adalah komando birokrasi daerah, pengawas gubernur, bupati, wali kota. Tetapi kenyataan di lapangan, korupsi daerah terus berulang, pelayanan publik berjalan di tempat, dan konflik politik lokal makin sering terjadi. Jika rakyat melihat pejabat daerah terseret kasus satu demi satu, tidakkah wajar bila pertanyaan dialamatkan ke Mendagri? Namun lagi-lagi, kursinya aman.

Menteri Pertanian pun demikian. Ia berkali-kali menyebut angka surplus dan janji swasembada, tetapi rakyat justru sibuk mengantre beras dengan harga yang kian naik. Ironisnya, pidato tentang ketahanan pangan terus digaungkan sementara ibu-ibu di pasar menjerit karena harga cabai dan beras melonjak tak terkendali. Kata seorang pengamat pertanian, “Menteri kita hebat dalam membuat narasi surplus, tapi rakyat hanya merasakan defisit di piring makan.”

Dan tentu ada Kapolri. Ia memimpin institusi yang seharusnya menjadi garda hukum dan keamanan. Namun citra kepolisian kian merosot. Aparat terlihat gagah perkasa saat menghadapi mahasiswa di jalan, tetapi melempem ketika berhadapan dengan elite bermodal. Kasus korupsi kelas kakap sering hilang arah, sementara pedagang kaki lima bisa cepat diusir tanpa belas kasih. Pengamat hukum dari PADHI bahkan menegaskan, “hukum kehilangan wibawa bukan karena rakyat tidak taat, tapi karena aparat tak konsisten.”

Lalu kita kembali pada pertanyaan awal: mengapa kursi empat anggota DPR bisa ditarik begitu cepat, sementara kursi menteri dan Kapolri tetap aman meski kegaduhan yang mereka timbulkan jauh lebih substansial?

Inilah wajah politik kita: standar ganda yang telanjang. Yang kecil ditarik cepat, yang besar dibiarkan duduk nyaman. Yang hanya gaduh di bibir dicopot, yang gagal dalam kerja tetap dilindungi.

Sejarah bangsa ini penuh dengan drama serupa. Tahun 1966, ketika rakyat menuntut perbaikan, yang dijadikan tumbal adalah beberapa menteri Orde Lama, sementara Soekarno sendiri masih mencoba bertahan hingga akhirnya tumbang. Pada 1998, mahasiswa berteriak soal harga dan korupsi, lalu yang pertama diminta mundur adalah pejabat-pejabat ekonomi Orde Baru. Tetapi krisis tak reda sampai akhirnya Soeharto sendiri menyerah. Sejarah memberi pelajaran: kadang satu dua pengorbanan kecil tidak cukup untuk meredakan amarah besar.

Di luar negeri, kita juga melihat pola serupa. Di Korea Selatan, seorang presiden bisa jatuh hanya karena terbukti lalai, sementara menterinya ikut diganti demi meredam krisis. Di Jepang, seorang menteri bisa mengundurkan diri hanya karena salah bicara atau gagal mengendalikan harga. Itulah standar yang membuat rakyat percaya: bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak milik.

Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin memulihkan kepercayaan publik, inilah saatnya membuktikan ketegasan. Menarik kursi empat anggota DPR hanyalah kosmetik. Tapi berani menarik kursi Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, dan Kapolri—itulah bukti nyata bahwa negara berpihak pada rakyat, bukan pada jabatan.

Risikonya memang besar. Pasar bisa panik, koalisi politik bisa retak, aparat bisa gelisah. Tetapi kepemimpinan bukan soal mencari aman, melainkan soal memilih risiko yang paling layak bagi bangsa. Keberanian untuk mencopot pejabat besar yang gagal akan dicatat sejarah sebagai langkah tegas, sebagaimana pengorbanan selebritas DPR tadi hanya akan tercatat sebagai catatan kaki yang segera dilupakan.

Hari ini bangsa ini sedang menghadapi krisis kepercayaan. Rakyat tidak butuh drama murahan. Rakyat butuh kepastian bahwa keadilan berlaku untuk semua, dari anggota DPR hingga menteri, dari selebritas hingga jenderal. Kalau tidak, sejarah akan menulis bab yang sama: kursi yang ditarik hanyalah kursi kecil, sementara kursi besar tetap tak tersentuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]