Ada kisah lama yang selalu indah untuk dikenang. Suatu hari, Dr. A.P.J. Abdul Kalam — Presiden India yang dijuluki People’s President — bercerita tentang ibunya yang menyuguhkan roti gosong di meja makan. Saat itu, kecil Kalam melihat ibunya begitu lelah. Ia khawatir sang ayah akan marah karena roti itu hangus. Tapi ayahnya hanya tersenyum, meraih roti gosong itu, dan memakannya perlahan. Malam itu, saat Kalam bertanya, ayahnya hanya menjawab: “Roti gosong tidak pernah melukai siapa pun. Tetapi kata-kata kasar bisa melukai untuk waktu yang lama.”
Pelajaran sederhana itu abadi: roti gosong tak pernah meninggalkan luka, tapi kata gosong bisa membakar hati manusia.
Kini mari kita menoleh ke tanah air. Di jalan-jalan kota, seorang driver ojek online kehilangan nyawanya setelah ditabrak kendaraan taktis Baracuda dalam aksi demonstrasi (Tempo, 2025). Rakyat marah. Mereka menjarah. Mahasiswa membakar ban di persimpangan jalan. Kepedihan rakyat bukan hanya karena hilangnya satu nyawa, melainkan karena setiap hari mereka seperti dipaksa menelan roti gosong: ekonomi sulit, harga beras melambung, listrik naik, utang negara menumpuk.
Namun, bukan itu luka terdalamnya. Luka sesungguhnya muncul dari kata-kata gosong para pejabat.
Kata-Kata yang Menyulut Api, Mari kita dengarkan sejenak.
Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, ketika merespons wacana pembubaran DPR berkata:
“Hanya orang tolol sedunia yang ngomongin bubarin DPR. Kalau DPR bubar, siapa yang ngurus rakyat?”
(Tempo, 27 Agustus 2025).
Kalimat ini mungkin terdengar enteng bagi sang politisi, tapi bagi rakyat, terasa seperti menabur garam di luka. Karena justru pertanyaan baliknya adalah: “Memangnya selama ini DPR benar-benar mengurus rakyat?”
Lalu ada Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang disebut-sebut sebagai teknokrat paling cerdas negeri ini. Dalam berbagai kesempatan ia menekankan bahwa utang negara aman, fiskal terkendali, rakyat tak perlu cemas. Namun di saat bersamaan, rakyat melihat angka utang tembus lebih dari Rp8.000 triliun, subsidi dipangkas, harga kebutuhan pokok melonjak. Bagi rakyat yang lapar, kata-kata “utang aman” terdengar seperti guyonan pahit.
Kata-kata pejabat itu membara di telinga. Tidak berbeda jauh dengan roti gosong, tetapi kali ini bukan sekadar gosong, melainkan hangus sampai hitam.
Api Amarah Rakyat, Maka meledaklah kemarahan. Bukan hanya di jalanan, tapi juga di rumah-rumah megah para pejabat. Tempo (2025) mencatat, rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok dirusak massa. Bahkan rumah Sri Mulyani pun ikut dijarah dalam gelombang kemarahan rakyat (Wikipedia, Kerusuhan Indonesia 2025).
Inilah momen tragis yang sesungguhnya. Rakyat yang lapar, mahasiswa yang marah, pekerja yang kecewa — mereka tidak lagi membedakan mana roti gosong dan mana kata gosong. Semuanya terasa sama: pahit, keras, membakar.
Dan ironinya, para pejabat masih sibuk mencari kalimat pembelaan. Masih berkelit di depan kamera. Masih menjual kata-kata, padahal yang mereka jual adalah bara yang semakin menyulut api.
Mari kita kembali ke meja makan kecil Abdul Kalam. Seorang ayah memilih diam, memilih lembut, memilih memadamkan bara dengan kasih sayang. Ia tahu, kata-kata bisa jadi racun.
Bandingkan dengan meja rapat di Senayan atau Kementerian Keuangan. Para pejabat duduk gagah, mikrofon di depan wajahnya, kamera menyorot, lalu mereka dengan enteng menebar kata-kata gosong. Kata yang tidak lahir dari empati, melainkan dari arogansi. Kata yang tidak meredam, justru menyalakan api.
Apa yang dulu diajarkan ayah Kalam bahwa kata bisa melukai lebih dalam daripada roti gosong, kini terbukti di jalanan Indonesia. Luka itu nyata. Luka itu berdarah. Luka itu bahkan membakar rumah pejabat.
Pejabat kita gemar sekali beretorika. Kalau beras mahal, rakyat dianjurkan makan singkong. Kalau listrik naik, rakyat diminta berhemat. Kalau utang membengkak, rakyat diberi ceramah bahwa “utang itu sehat.”
Lucunya, tak satu pun pejabat yang benar-benar hidup seperti rakyat. Tak ada yang beralih makan singkong setiap hari. Tak ada yang menyalakan lilin di rumahnya karena listrik naik. Tak ada yang merasa perih ketika belanja sayur di pasar.
Kata-kata mereka ringan di bibir, tapi berat di pundak rakyat. Kata gosong yang mereka lemparkan tidak mengenyangkan, justru membakar perut kosong.
Najwa Shihab pernah berkata dalam salah satu episodenya: “Kekuasaan bisa membeli banyak hal, kecuali rasa malu.”
Kalimat itu seolah menjelma di depan mata. Karena ketika rakyat menjerit, pejabat masih sibuk memoles kata. Mereka lupa, rakyat bukan hanya mendengar, rakyat juga merekam. Dan rakyat yang lapar bisa berubah jadi rakyat yang marah.
roti gosong tidak pernah melukai, tapi kata kosong bisa membakar gedung, merobohkan rumah pejabat, bahkan mengguncang negara.
Apakah para pejabat kita masih bisa belajar dari seorang ayah sederhana di India, yang tahu betul bagaimana menahan lidah agar tak melukai?
Atau apakah mereka akan terus menebar kata-kata gosong, hingga api kemarahan rakyat membakar habis kursi yang mereka duduki?
Karena pada akhirnya, bukan roti gosong yang membuat rakyat lapar. Bukan demonstrasi yang membuat rakyat marah. Tapi kata-kata kosong itulah yang telah menyalakan api.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar