Sore di Makassar selalu punya caranya sendiri untuk membuka kembali halaman lama. Langit di atas laut barat itu berwarna jingga tua, seperti matahari yang sedang menua. Aku duduk di atas batu karang yang basah, memandangi kapal yang melintas jauh di garis air, lalu tiba-tiba, dari radio warung kopi di belakangku, terdengar lagu itu “Anging Mammiri.”
Bukan lagu baru. Tapi ada sesuatu yang berbeda sore itu. Nada dan liriknya seolah datang bukan dari pengeras suara, melainkan dari angin itu sendiri, angin mammiri yang lembut, yang membawa rindu lebih halus dari air mata.
Anging mammiri kupasang, pitujui tontonganna…
Wahai angin lembut, kusuruh engkau mengantar pesanku, ke jendela rumahnya.
Entah mengapa, di detik itu juga aku seperti disapa masa lalu yang belum selesai. Ada wajah yang samar, ada nama yang tak berani kusebut. Dan angin yang berhembus dari laut Makassar malam itu, rasanya membawa aroma rambutnya, wangi kenangan yang tak sempat kucatat di buku manapun.
“Anging Mammiri” bukan sekadar lagu daerah. Ia adalah cara orang Makassar mengingat tanpa harus menyebut.
Ia seperti bisikan antara jiwa dan alam: lembut, tapi menusuk.
Di antara bait-baitnya, ada pengakuan yang disembunyikan di balik bahasa adat bahwa rindu tak selalu harus bertemu, cukup disampaikan pada angin yang tahu arah pulang.
Aku menyadari, mungkin karena itu orang Bugis-Makassar lebih sering menatap laut ketika diam. Mereka tahu, laut dan angin adalah pos surat paling setia. Ketika cinta tak lagi bisa dikirim lewat kata, mereka mengirimnya lewat hembusan.
Tusarroa takkaluppa…
“Sampaikan padanya, meski ia telah melupakan.”
Kalimat itu menembus dadaku seperti doa yang tak minta dikabulkan.
Ia tak menuntut. Ia hanya ingin sampai.
Aku menatap jauh ke arah barat, tempat matahari perlahan tenggelam di balik laut Selat Makassar. Air laut tampak berkilau keperakan, seperti amplop besar yang siap menerima pesan dari siapa pun yang kesepian. Dan aku pun berbicara pelan pada angin, seperti dalam lagu itu, seperti orang dulu yang percaya bahwa setiap hembusan membawa roh kata.
“Kalau engkau sampai padanya,” bisikku dalam hati, “katakan aku tak marah, hanya rindu.”
Lagu itu terus berputar, tapi kini terdengar berbeda. Ia bukan sekadar nada, melainkan gema batin dari rindu yang memilih diam. Mungkin memang begitu hakikat cinta yang matang: tak perlu berteriak untuk tetap ada.
Ia berhembus, lembut tapi pasti, dan diam-diam menembus jarak paling jauh jarak antara yang masih mencinta, dan yang sudah melupakan.
Di dalam kebudayaan Bugis-Makassar, angin bukan sekadar udara. Ia adalah simbol sumanga’, napas kehidupan penghubung antara tubuh dan semesta. Maka memanggil angin berarti berbicara pada alam yang hidup;
mengirim rindu lewat angin berarti menitipkan sebagian dari jiwa kita kepada ruang yang tak berbatas.
Di dunia modern yang serba cepat ini, lagu itu terasa seperti keheningan yang menolak mati.
Ketika semua orang terburu-buru menghapus pesan dan menutup percakapan, “Anging Mammiri” datang sebagai peringatan lembut bahwa ada hal-hal yang sebaiknya dibiarkan tertinggal bukan karena tak penting, tapi karena di sanalah cinta menemukan kedewasaannya.
Malam turun perlahan. Lampu-lampu kapal di kejauhan mulai berkelip. Angin yang tadi hangat kini menjadi dingin, dan di sela desirnya aku seperti mendengar kembali baris terakhir lagu itu
“Battumi anging mammiri, anging ngerang dinging-dinging.”
Berhembuslah, wahai angin yang dingin.
Bawa sedikit hangat dari hatiku yang tertinggal di sini.
Dan aku pun tersenyum pelan.
Ternyata, yang datang sore itu bukan hanya angin dari laut. Ia datang bersama sesuatu yang lebih halus, rindu yang tidak lagi menyakitkan, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi.
Kini setiap mendengar “Anging Mammiri,” aku tahu itu bukan sekadar lagu tentang seseorang yang ditinggalkan. Ia adalah cermin bagi setiap jiwa yang pernah menunggu, bagi siapa pun yang pernah menitipkan cinta pada sesuatu yang tak terlihat angin, waktu, kenangan.
Sebab cinta yang paling indah memang tidak berteriak. Ia hanya berhembus pelan, menyapa pipimu, dan membuatmu menatap laut tanpa sadar tersenyum, seolah-olah seseorang di seberang sana sedang merasakan hal yang sama.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar