Beberapa hari ini, sebuah berita dari Palopo terdengar menenangkan sekaligus menggelisahkan.
Fraksi Demokrat dan Gerindra di DPRD Palopo memuji surat edaran Walikota yang menahan pengeluaran perangkat daerah. Mereka menyebutnya “langkah tepat untuk menyelamatkan keuangan daerah.”
Kalimat itu terdengar manis di telinga.
Namun justru di situlah letak kegelisahan itu: mengapa nada yang keluar dari ruang legislatif terdengar seperti suara pengamat kebijakan, bukan pengambil keputusan? Mengapa seorang wakil rakyat berbicara seperti dosen ekonomi politik yang menilai tesis mahasiswanya, bukan sebagai penyusun anggaran yang punya wewenang korektif?
Montesquieu, dalam The Spirit of the Laws, menulis bahwa kekuasaan harus dibagi agar tidak saling memangsa. Eksekutif harus diawasi oleh legislatif; legislatif harus dibatasi oleh hukum; hukum dijaga oleh nurani publik. Tetapi di Palopo, pembagian itu seperti blur. Dewan tampak kehilangan taring pengawasan, dan malah berubah menjadi komentator netral atas kebijakan eksekutif.
Ketika seorang anggota DPRD menyebut surat edaran Walikota sebagai “langkah strategis,” kita tidak mendengar refleksi institusional. Tidak ada pertanyaan: mengapa keuangan daerah sampai harus diselamatkan? Siapa yang menyetujui asumsi pendapatan yang kini dianggap terlalu tinggi? Bagaimana peran DPRD dalam proses itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak muncul. Yang tersisa hanyalah narasi apresiatif, seolah DPRD berdiri di luar lingkaran kebijakan yang mereka ikut tetapkan.
Dalam dunia filsafat politik, situasi semacam ini disebut oleh Hannah Arendt sebagai “banalitas kekuasaan”: ketika pejabat publik berhenti berpikir kritis dan hanya mengikuti arus prosedur tanpa kesadaran moral. Mereka tak lagi melakukan judgment, hanya menjalankan fungsi simbolik — bicara, menilai, lalu berlalu.
John Stuart Mill mengingatkan, demokrasi sejati hanya hidup bila ada keberanian moral untuk berbeda. Tapi di banyak daerah, termasuk Palopo, politik lokal justru diisi oleh politik aman: berbicara tanpa risiko, berpendapat tanpa arah, dan mendukung tanpa tanggung jawab.
Pernyataan seperti “langkah Walikota sudah tepat” terdengar bijak, tapi sesungguhnya itu bentuk pembekuan fungsi politik. Ia tidak melahirkan keputusan, tidak menggugat, tidak memperbaiki. Ia sekadar memelihara ilusi harmoni di atas kenyataan fiskal yang rapuh.
Dalam konteks Palopo, situasi itu terasa ironis. DPRD adalah lembaga yang ikut mengesahkan target pendapatan daerah yang kini harus direvisi turun sekitar Rp40 miliar. Maka ketika mereka memuji kebijakan penghematan, sesungguhnya mereka sedang memuji koreksi atas keputusan mereka sendiri. Lucunya, mereka tidak tampak menyesal.
Robert Dahl dalam Polyarchy menulis bahwa ciri utama demokrasi adalah kontrol efektif atas para penguasa. Kontrol itu tidak bisa berjalan bila lembaga pengawas justru menjauh dari fungsi korektifnya. Ketika legislatif berhenti melakukan kontrol dan hanya menjadi pemberi komentar, demokrasi kehilangan salah satu pilar paling penting: keseimbangan.
Filsuf Jerman Max Weber menyebut politik sebagai “panggilan yang berat.” Bukan hanya seni memerintah, tetapi tanggung jawab moral untuk membuat keputusan sulit. Tapi di Palopo, politik tampak lebih ringan — cukup memberi komentar yang aman, dan semua tampak baik-baik saja. Padahal, keputusan “menahan belanja” bukan tanpa dampak: proyek publik tertunda, pelayanan bisa terganggu, roda ekonomi daerah bisa melambat.
Di titik inilah, seharusnya suara DPRD muncul sebagai penimbang: bagaimana efisiensi dilakukan tanpa menabrak kesejahteraan publik? Bagaimana kebijakan penghematan tidak berubah menjadi kelumpuhan administrasi?
Namun suara itu tak terdengar. Yang ada hanya analisis datar — seperti laporan seminar tanpa kesimpulan.
Kondisi ini memperlihatkan satu hal yang lebih dalam: DPRD kita kehilangan kesadaran reflektif tentang posisinya sendiri. Mereka duduk di kursi pengawasan tapi memandang dari tribun; ikut menulis anggaran tapi berbicara seolah bukan penulisnya.
Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Orang yang terlalu lama menatap jurang, suatu saat jurang itu menatap balik.” Begitu pula dewan yang terlalu lama menonton jalannya kebijakan tanpa keberanian menegur — lama-lama mereka menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
DPRD yang tidak kritis melahirkan pemerintahan yang tidak transparan. Pemerintahan yang tidak transparan melahirkan publik yang apatis. Publik yang apatis akhirnya melahirkan demokrasi tanpa nyawa — demokrasi yang hanya hidup di baliho, bukan di nurani warga.
Kita tidak bisa menafikan bahwa keuangan daerah memang sedang terjepit. Banyak pemerintah kota menghadapi tekanan serupa: pendapatan yang stagnan, transfer pusat yang melambat, dan belanja rutin yang membengkak. Dalam situasi seperti ini, kebijakan efisiensi adalah keniscayaan.
Namun yang membedakan demokrasi sehat dan demokrasi kosmetik adalah siapa yang berani mengatakan “kami ikut bertanggung jawab.”
Di sinilah kejujuran politik diuji. Montesquieu pernah memperingatkan, “Kekuasaan akan cenderung disalahgunakan bila tidak ada yang menahannya.” Tapi di Palopo, yang terjadi justru sebaliknya: kekuasaan tidak disalahgunakan karena dibatasi, melainkan karena semua pihak memilih diam dalam keheningan yang nyaman. Eksekutif membuat kebijakan darurat, legislatif memuji, publik menonton. Sebuah simfoni kebijakan yang manis di permukaan, tapi kehilangan harmoni akuntabilitas.
Kritik yang sehat adalah yang melahirkan tindakan. Bila DPRD menilai keuangan daerah bermasalah, mereka seharusnya memimpin evaluasi APBD, mendorong audit internal, dan mengajukan revisi asumsi fiskal. Bila mereka menganggap surat edaran Walikota sudah tepat, mereka semestinya memastikan kebijakan itu tidak menabrak hak publik atas layanan dasar.
Tugas wakil rakyat bukan memberi komentar bijak di media, melainkan memastikan dampak kebijakan berjalan adil di lapangan.
Kalau tidak, mereka tak lebih dari penonton yang membayar tiket sendiri untuk menonton drama yang mereka tulis bersama.
Dalam terminologi politik, kita menyebut fenomena ini “delegitimasi lembut”: lembaga yang sah secara hukum, tetapi kehilangan kepercayaan moral karena absen dalam tanggung jawab. Dan ketika publik mulai merasa dewan tak lebih dari penonton, itu pertanda demokrasi sedang berjalan dengan autopilot.
Politik daerah butuh keberanian moral. Bukan keberanian melawan eksekutif semata, tetapi keberanian mengakui bahwa mereka pun bagian dari sebab-musabab masalah fiskal.
Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies menulis bahwa masyarakat terbuka hanya bisa bertahan jika para pemimpinnya mau dikritik, dan yang dikritik bersedia memperbaiki. Kritik dan perbaikan adalah dua sisi dari satu mata uang demokrasi. Jika kritik hanya jadi formalitas, dan perbaikan tak pernah datang, maka yang tersisa hanyalah upacara.
Kita butuh DPRD yang tak sekadar fasih berbicara tentang langkah strategis, tapi juga berani merumuskan langkah selanjutnya. Karena yang menyelamatkan daerah bukan kata-kata strategis, melainkan tindakan konkret dan transparansi yang bisa diukur.
Surat edaran Walikota Palopo mungkin memang langkah yang tepat. Tapi pujian DPRD yang terlalu cepat adalah cermin retak dari sebuah relasi politik yang tak lagi berjarak.
Ketika pengawas berbicara seperti pengamat, dan pengamat diperlakukan seperti pelengkap berita, maka publik kehilangan orientasi: siapa yang sebenarnya bekerja?
Seorang filsuf Yunani, Epictetus, pernah berkata: “Bukan kata-kata yang menunjukkan siapa kita, tapi tindakan yang menegaskannya.”
DPRD Palopo, dan banyak DPRD lain di negeri ini, sedang diuji: apakah mereka sekadar pengamat berlisensi, atau benar-benar wakil rakyat yang berani menanggung beban keputusan?
Sebab jika fungsi pengawasan hanya tinggal komentar, maka demokrasi tinggal dekorasi. Dan rakyat akan terus menonton dari tribun yang sama menunggu siapa yang kali ini berani turun ke panggung.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar