“Jangan banyak bicara denganku tentang agama tetapi izinkan diriku melihat agama dalam perilakumu.” Begitulah ungkapan yang sering dikaitkan dengan Leo Tolstoy. Sayangnya, kalau Tolstoy hidup di negeri kita, mungkin beliau sudah kebingungan: agama begitu ramai diperdagangkan, tapi perilaku pemeluknya sering bikin Tuhan geleng-geleng kepala.
Di layar kaca, pejabat kita tampak religius: fasih melantunkan doa, pandai mengutip ayat, bahkan suaranya lebih merdu daripada ustaz kampung. Tapi jangan salah, jari yang sama yang bergetar ketika mengangkat tangan berdoa, juga lihai menandatangani proyek fiktif. Seolah-olah ada dua mode: mode doa di depan kamera, dan mode dosa di balik meja kerja.
Rakyat pun diajari soal pentingnya iman. Penceramah berteriak lantang, “Tak ada guna dunia jika tanpa agama!” Tapi anehnya, kalau urusan bansos, justru dunia yang mereka rebut. Agama menjadi hiasan mulut, bukan pedoman hidup. Tolstoy pasti tersenyum kecut sambil berkata, “Itu bukan agama, itu stand-up comedy rohani.”
Lihatlah jalan raya: semua orang rajin bicara soal sabar, tapi begitu macet, sabarnya diselipkan di dashboard. Lihatlah kantor: orang sibuk ceramah tentang amanah, tapi slip amplop masih terselip di laci meja. Lihatlah pasar: pedagang menyebut harga sambil bersumpah demi Tuhan, padahal timbangannya curang setengah kilo. Seakan-akan agama hanya berfungsi sebagai “bumbu dapur”—ditaburkan seperlunya agar dagangan lebih laku.
Ironi terbesar tentu ada di panggung politik. Para kandidat berjanji dengan gaya ustaz dadakan: “Demi Tuhan, saya akan memberantas korupsi!” Tak lama kemudian, demi Tuhan pula, ia disumpah di pengadilan karena terbukti korupsi. Barangkali doa dan sumpah di negeri ini sudah terlalu sering salah alamat, nyasar ke meja hakim daripada naik ke langit.
Tolstoy menulis, “Faith is the force of life.” Di negeri ini, faith alias iman, tampaknya lebih berfungsi sebagai “force of lifestyle”: gaya hidup religius yang dipamerkan, dari busana serba syar’i sampai status WhatsApp penuh ayat. Tentu tak salah, asal diikuti dengan perilaku. Masalahnya, yang tampak hanyalah gaya, bukan daya.
Maka jangan heran jika rakyat mulai sinis: semakin banyak orang bicara agama, semakin sedikit kita melihat agamanya. Inilah tragedi kita: doa jadi pertunjukan, ibadah jadi lomba, dan agama jadi etalase, bukan fondasi. Tolstoy benar, seharusnya kita tidak banyak bicara soal agama. Toh, mulut bisa bohong, tapi perilaku tak bisa disensor.
Pada akhirnya, mari kita balik logika sederhana: agama tidak perlu diumumkan di spanduk, tidak perlu dipamerkan di podium, apalagi dijadikan jubah untuk menutupi kepentingan. Cukup hadir dalam perilaku: jujur, adil, peduli. Sebab kalau agama terus-terusan hanya ada di bibir, maka kita semua sedang menjalani festival yang sama: Festival Agama Internasional — dengan tiket masuk dosa kolektif, dan keluarannya neraka privat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar