Hari ini saya melewati tiga ujian kecil yang terasa besar: sakit perut yang menusuk, rantai motor yang lepas di perbatasan Sampoddo–Bua, serta hujan deras yang mengguyur tubuh dan pikiran. Seolah-olah perjalanan ini ingin menguji niat saya, seberapa kuat langkah untuk kembali pulang ke Tobia, desa masa kecil yang menyimpan kenangan dan harapan baru.
Tobia—atau kadang disebut Tobea, To’bia—bukan sekadar titik di peta Kecamatan Ponrang Selatan, melainkan ruang batin yang pernah menampung tumbuh kembang saya sejak usia sekolah dasar hingga menamatkan jenjang sembilan tahun. Di sana berdiri Yayasan Al Qashash, sekolah yang beberapa puluh tahun lalu menjadi tempat saya belajar mengeja huruf, menulis angka, hingga memahami dunia. Kini, di usia yang lebih matang, takdir membawa saya kembali, bukan lagi sebagai murid, melainkan sebagai guru.
Ada rasa haru ketika membayangkan berdiri di kelas yang dulu pernah saya duduki sebagai siswa kecil yang penuh tanya. Dulu saya menerima ilmu dengan lugu, kini saya diminta untuk membagikan apa yang sudah saya kumpulkan selama perjalanan hidup. Seakan lingkaran itu lengkap: anak Tobia kembali untuk Tobia. Inilah sebuah bentuk pulang yang bukan hanya raga, tapi juga tanggung jawab moral kepada kampung halaman.
Perjalanan ke Tobia kali ini pun terasa simbolis. Sakit perut yang saya alami, rantai motor yang putus, dan hujan deras yang mengguyur, seolah menjadi metafora tentang jalan seorang pendidik. Jalan itu tidak selalu mulus, tidak selalu cerah, dan sering kali penuh kejutan yang tak terduga. Tetapi setiap ujian yang dihadapi meneguhkan tekad, bahwa untuk sampai ke tujuan—mengabdi sebagai guru—dibutuhkan kesabaran, keteguhan hati, dan kesediaan untuk basah kuyup oleh pengorbanan.
Yayasan Al Qashash Tobea bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan warisan kolektif masyarakat. Di sanalah harapan orang tua menitipkan masa depan anak-anaknya. Di sanalah pula saya melihat cermin: bahwa pendidikan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Kini, saat saya memilih untuk mengajar di sana, saya tidak hanya ingin memberikan pengetahuan akademis, tetapi juga menanamkan semangat bahwa anak-anak Tobia bisa bermimpi tinggi tanpa harus melupakan akar desa.
Mengambil profesi sebagai guru di Tobia mungkin tidak menjanjikan kemewahan materi. Namun, ada kebahagiaan lain yang lebih tulus: kebahagiaan ketika melihat anak-anak tersenyum karena memahami pelajaran, atau ketika melihat mata mereka berbinar penuh rasa ingin tahu. Di situlah letak keberhasilan sejati seorang pendidik: bukan pada tepuk tangan besar, tetapi pada perubahan kecil yang tumbuh dari kelas sederhana.
Maka perjalanan hari ini, meski penuh ujian, adalah pengingat bahwa langkah pulang sering kali diwarnai rintangan. Tobia bukan hanya kampung masa kecil, tapi juga kampung masa depan. Dengan mengajar di Yayasan Al Qashash, saya percaya benih-benih kecil yang ditanam hari ini akan tumbuh menjadi pohon pengetahuan yang menaungi generasi mendatang.
Dan mungkin, suatu hari nanti, anak-anak Tobia yang kini saya ajar akan kembali ke desa dengan cara yang sama: pulang, lalu mengabdi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar