Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Ketika bendera bajak laut dari anime One Piece berkibar di tengah demonstrasi di beberapa tempat, sebagian orang mungkin hanya melihatnya sebagai kelucuan. Apa urusannya wajah tengkorak berkepala jerami dengan kenaikan pajak atau krisis demokrasi? Namun, jika kita menengok kacamata postmodernisme, justru di situlah wajah politik hari ini terbuka: serius tapi cair, marah tapi penuh ironi, lebih dekat ke budaya pop daripada manifesto ideologi.

Jean-François Lyotard pernah bilang bahwa kita hidup dalam era “incredulity toward metanarratives” — ketidakpercayaan terhadap narasi besar. Dulu, rakyat bergerak dengan jargon revolusi, ideologi kiri-kanan, atau narasi pembangunan. Kini, narasi besar itu dianggap basi, kehilangan relevansi. Di mata generasi Z, tokoh fiksi seperti Luffy lebih kredibel sebagai simbol perlawanan daripada slogan politik pemerintah. Ketika janji-janji pembangunan hanya menyisakan beban, wajar jika bendera bajak laut justru terasa lebih jujur.

Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan bekerja melalui simbol. Pemerintah punya bendera resmi, seragam, protokol, dan pidato yang sakral. Namun, massa justru mendekonstruksinya dengan simbol alternatif. Jolly Roger bukan sekadar tanda bajak laut, ia adalah dekonstruksi tanda kekuasaan. Ia mengolok-olok keseriusan negara, sekaligus menantang otoritas. Inilah politik pasca-modern: kekuasaan dilawan bukan dengan senjata, melainkan dengan permainan tanda.

Jean Baudrillard bahkan lebih jauh. Ia menyebut kita hidup dalam era hiperrealitas, di mana simulasi lebih nyata dari kenyataan. Bendera One Piece adalah contoh nyata: kain bergambar tengkorak yang awalnya hanya fiksi, kini menjelma menjadi fakta politik. Media memotretnya, netizen menyebarkannya, lalu publik menafsirkannya sebagai representasi kemarahan rakyat. Dalam dunia hiperrealitas, politik hari ini lebih mudah hidup lewat meme, anime, dan TikTok ketimbang manifesto panjang di lembaran kertas.

Lebih jauh, postmodernisme juga menolak batas antara budaya tinggi dan rendah. Kalau dulu simbol perjuangan harus berupa teks serius atau tokoh berwibawa, kini budaya populer sah menjadi bahasa politik. Identitas kolektif lahir bukan dari buku tebal ideologi, melainkan dari fandom, komunitas online, hingga nostalgia menonton anime selepas sekolah. Jolly Roger dalam demonstrasi adalah politik identitas generasi baru: cair, ironis, sekaligus kritis.

Namun, di balik itu ada pertanyaan ambivalen: apakah bendera One Piece memperkuat perlawanan atau justru menjadikannya hiburan massal? Apakah ia menginspirasi gerakan yang konsisten, atau sekadar menciptakan tontonan viral yang segera dilupakan? Postmodernisme sendiri tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya menegaskan bahwa realitas sosial kini memang dibentuk oleh permainan tanda, dan tanda itu bisa menyalakan semangat sekaligus melemahkannya.

Yang jelas, bendera One Piece sudah menggeser wajah politik kontemporer Indonesia. Ia menunjukkan krisis kepercayaan pada simbol-simbol resmi negara, sekaligus kreativitas generasi baru dalam menyuarakan ketidakadilan. Politik hari ini tidak lagi berjalan lewat pidato panjang dan baliho formal, melainkan lewat parodi, meme, dan simbol budaya populer.

Mungkin inilah wajah demokrasi pasca-modern: serius tapi jenaka, marah tapi kreatif. Sebab di era ini, bahkan bajak laut fiksi pun bisa menjadi juru bicara rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]