Senja selalu punya cara menipu waktu. Ia datang perlahan, seakan memberi jeda kepada manusia untuk menyadari betapa panjang hari yang telah ia lalui. Ada warna jingga, ungu, dan merah yang berlapis-lapis di cakrawala, seolah langit sedang melukis potret terakhir dari sebuah perjalanan harian. Namun di balik keindahan itu, senja juga mengandung rasa perpisahan. Ia adalah gerbang yang mengantar matahari menuju malam, sebagaimana manusia akhirnya diantar menuju kematian.
Angin hadir di sela-sela senja. Kadang lembut menyapu wajah, kadang dingin merobek tulang. Angin membawa aroma laut, tanah, atau bunga dari halaman rumah, seolah mengingatkan bahwa hidup bukan hanya terdiri dari tubuh, tetapi juga dari ingatan yang beterbangan. Dalam filsafat Timur, angin sering dimaknai sebagai roh atau napas kehidupan—prana, chi, atau nafas ilahi. Ia tidak terlihat, namun dirasakan. Ia tidak memiliki bentuk, tetapi menyingkapkan keberadaan. Dalam hubungan itu, kematian bisa dipahami sebagai berhentinya angin yang berhembus dalam tubuh manusia.
Bayangkan seorang tua yang duduk di beranda rumahnya, memandang senja dengan mata yang sudah lelah. Angin berhembus, menyibakkan rambutnya yang memutih, membawa aroma tanah basah setelah hujan siang. Ia tersenyum, sebab dalam hembusan itu ia seperti mendengar bisikan masa lalu: suara anak-anaknya ketika masih kecil, tawa istrinya yang telah lama tiada, juga percakapan hangat dengan kawan-kawan yang kini telah ditelan bumi. Senja menjadi layar bagi kenangan, sementara angin menjadi juru bicara yang menghadirkannya kembali. Dan kematian, yang semakin dekat, terasa bukan sebagai ancaman, melainkan kepulangan.
Kematian, sebagaimana senja, sering kali dipandang dengan ketakutan. Manusia terbiasa mengaitkannya dengan hilang, hampa, dan gelap. Namun siapa yang berani berkata bahwa senja tidak indah hanya karena ia menandai berakhirnya siang? Bukankah justru pada detik-detik terakhir itu matahari menunjukkan kemegahan warnanya? Mungkin begitu pula dengan hidup manusia: pada akhirnya, ia menemukan keindahan tertentu yang tidak pernah terjamah saat masih sibuk mengejar siang.
Angin memberi kita pelajaran tentang kefanaan. Ia datang dan pergi tanpa bisa kita tahan. Kita tidak bisa menyimpannya di genggaman, sebab ia bukan milik siapa pun. Begitu juga dengan hidup: kita tidak bisa menahannya, kita hanya bisa merasakan lewat tubuh, pengalaman, dan hati. Saat napas terakhir terlepas, bukankah itu hanya angin yang kembali ke asalnya? Maka kematian bisa dimengerti bukan sebagai kehilangan, melainkan kembalinya sesuatu kepada rumahnya yang sejati.
Dalam kesenyapan senja, sering kali manusia merenung lebih dalam. Waktu terasa melambat, memberi kesempatan untuk menimbang ulang perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial muncul: untuk apa semua kerja keras, semua ambisi, semua amarah yang disimpan sepanjang hari? Bukankah pada akhirnya semua akan larut dalam gelap? Pada titik ini, senja menjadi cermin kematian—mengingatkan bahwa hidup memiliki garis batas, bahwa tidak ada hari yang abadi.
Namun, bukan berarti kematian harus ditakuti. Justru kesadaran akan kematianlah yang memberi makna pada kehidupan. Andai manusia hidup selamanya, mungkin ia tidak akan pernah merasakan urgensi untuk mencintai, berbagi, atau memaafkan. Keterbatasan waktu membuat kita memilih dengan hati-hati, membuat kita belajar menghargai kehadiran orang lain, sebagaimana kita menghargai detik-detik terakhir senja yang indah karena kita tahu sebentar lagi ia akan hilang.
Kematian adalah malam, kehidupan adalah siang, dan senja adalah jembatan di antaranya. Kita semua sedang berada dalam perjalanan menuju malam itu. Ada yang berjalan cepat, ada yang perlahan. Namun anginlah yang menjadi saksi. Ia mengiringi langkah kita, mengusap wajah kita di setiap perjalanan, dan akhirnya menjadi nafas terakhir yang meninggalkan tubuh.
Dalam puisi-puisi sufistik, kematian sering digambarkan sebagai pertemuan kekasih dengan Kekasih. Hidup hanyalah perjalanan singkat, dan senja hanyalah penanda bahwa jarak dengan kekasih sejati semakin dekat. Angin yang berhembus dalam dada adalah tanda bahwa kita masih diberi kesempatan untuk merindu, untuk mencinta, untuk menebar kebaikan sebelum akhirnya lenyap.
Mungkin inilah alasan mengapa banyak orang menyukai senja. Ia bukan hanya indah, tapi juga jujur. Ia mengajarkan bahwa segala sesuatu yang indah pasti berakhir, dan justru karena itu ia layak dinikmati. Sama seperti kita harus berani menatap kematian, bukan dengan cemas, tapi dengan penerimaan.
Bayangkan jika hidup tanpa senja. Pagi langsung bertemu malam, siang hilang tanpa tanda. Kita akan kehilangan waktu transisi, kehilangan ruang untuk merenung. Begitu pula dengan kematian: seandainya ia datang tanpa pertanda, kita akan kehilangan kesempatan untuk berdamai. Senja adalah anugerah, ia memberi kita latihan kecil untuk merelakan sesuatu yang kita cintai pergi. Angin menjadi pengingat bahwa semua yang pergi tidak pernah benar-benar hilang—ia hanya berpindah bentuk, berpindah tempat, seperti napas yang menjadi bagian dari langit luas.
Akhirnya, manusia tidak bisa melawan siklus ini. Matahari pasti tenggelam, angin pasti berhenti, dan kehidupan pasti berakhir. Namun, bukankah justru dalam keterbatasan itu keindahan lahir? Tidak ada senja yang sama, tidak ada angin yang sama, dan tidak ada kematian yang sama. Setiap orang membawa kisahnya masing-masing, yang akan larut bersama malam namun tetap bergetar dalam ingatan mereka yang ditinggalkan.
Senja, angin, dan kematian sesungguhnya bukan tiga hal yang terpisah. Mereka adalah satu kesatuan dalam puisi besar alam semesta. Senja adalah warna, angin adalah suara, dan kematian adalah diam. Warna, suara, dan diam, tiga unsur yang menyempurnakan simfoni kehidupan. Tanpa senja, kita tidak belajar merelakan. Tanpa angin, kita tidak belajar merasakan. Tanpa kematian, kita tidak belajar menghargai kehidupan.
Maka, ketika kelak angin terakhir meninggalkan tubuh kita di suatu senja yang entah kapan, barangkali kita bisa tersenyum. Sebab kita tahu, kita hanya sedang mengikuti irama yang telah dimainkan sejak awal: siang yang berubah jadi senja, angin yang berubah jadi keheningan, dan hidup yang berubah menjadi pulang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar