Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]



Ada pemandangan menarik di Indonesia Lawyers Club yang sempat mampir di beranda media sosial saya. Videonya memang sudah lewat musim, tapi seperti kopi hitam tanpa gula, rasa pahitnya tetap membekas. Kali ini, “kopinya” adalah Ade Armando uang mendadak seperti menemukan penyakit baru: alergi kaos.

Ceritanya sederhana. Melanie Subono, dengan gaya santai khas aktivis, menawari Ade kaos buatannya. Alasannya mulia: mendukung ekonomi kreatif lokal. Ade, yang dikenal vokal soal keberpihakan pada kreativitas anak bangsa, tentu menyambut dengan senyum.

Tapi senyum itu hilang secepat janji kampanye yang kadaluarsa. Sebab ketika kaosnya dibuka, isinya bukan sekadar kain. Di sana ada wajah Gibran, lengkap dengan tulisan: “SEDANG MENCARI 19 JUTA LAPANGAN KERJA.

Sebuah kalimat sederhana, tapi punya daya sengat lebih tajam dari tusukan jarum suntik. Dan entah kenapa, justru kalimat seperti inilah yang sering membuat politisi dan pengamat politik kehilangan keberanian untuk sekadar… memakainya.

Ade menolak. Bukan karena warnanya jelek, bukan karena ukurannya salah, tapi karena di negeri ini ada hukum tak tertulis: “Kritik itu boleh… asal bukan saya yang membawanya di dada.”

Di momen itu saya sadar, politik kita sudah punya dress code tersendiri. Pakaian harus aman, netral, dan steril dari pesan yang terlalu jujur. Boleh bergambar pemandangan, logo partai, atau wajah tokoh—asal tidak memuat pertanyaan yang sulit dijawab.

Melanie mungkin gagal menjadikan Ade model dadakannya. Tapi ia berhasil menggelar panggung kecil yang mengajarkan satu hal: kadang, di republik ini, selembar kaos bisa lebih menakutkan daripada panggilan KPK.

Karena di sini, kebenaran bukan diukur dari data atau moralitas, tapi dari keberanian memakai baju yang isinya bukan sekadar motif bunga… melainkan pertanyaan yang bikin kursi empuk terasa seperti duduk di atas kompor menyala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]