Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Falsafah Bugis: Dari Siri’ Sampai Otw

Coret-coret saja. 

Orang Bugis itu punya falsafah hidup yang, kalau dibaca, rasanya seperti kitab motivasi campur Stand Up Comedy. Bedanya, ini sudah teruji berabad-abad, bahkan sebelum Google Maps tahu di mana wajo itu.

Pertama, “Ada tongeng, lempu’, getteng, sipakatau, sipakainge, sipakalebbi”. Artinya: jujur, adil, teguh, memanusiakan, mengingatkan, dan menghormati. Kalau ini diubah jadi aplikasi, dia bukan cuma bisa memesan ojek, tapi juga bisa menegur sopirnya kalau ugal-ugalan.

Kedua, “Resopa temmangingngi, namalomo naletei pammase Dewata”. Intinya: kerja keras dulu, baru Tuhan kasih bonus. Sayangnya, sebagian orang sekarang maunya langsung “pammase” tanpa “resopa”, alias pengen gaji masuk tapi kerjaan masih di mimpi.

Ketiga, “Siri’ na pacce”. Ini harga diri dan solidaritas. Dulu, demi siri’, orang bisa berpantun di tengah duel. Sekarang, demi siri’, orang bisa hapus status Facebook yang terlalu baper. Pacce juga tetap ada: kalau teman kena masalah, kita bantu… minimal bantu share di Instagram Story.

Keempat, “Malilu sipakainge, malilu siparappe, mainge’ sipatokkong”. Ini falsafah saling mengingatkan, mengangkat, dan menguatkan. Masalahnya, di zaman now, “mengingatkan” sering berubah jadi “ngegas di kolom komentar”. Padahal niatnya bagus, tapi nadanya bikin orang pengen balas.

Kelima, “Taro ada taro gau”. Satu kata satu perbuatan. Dulu ini bikin orang Bugis disegani. Sekarang, kalau dipraktikkan di grup WhatsApp, artinya kalau janji “OTW” ya benar-benar OTW, bukan baru mandi.

Kesimpulannya, falsafah Bugis itu seperti kopi Toraja: pahitnya nikmat, aromanya kuat, dan bikin melek, kalau kita mau seduh dengan benar. Sayangnya, sebagian orang lebih suka beli kopi instan lalu bangga bilang itu “khas leluhur”. Padahal, warisan nilai itu baru berasa kalau kita jalani, bukan cuma dipajang di caption.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]