Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Bupati Onar

Ada pepatah politik klasik: “Pemimpin yang bikin gaduh ibarat kucing kawin di atap sengsuaranya keras, tapi yang dapat tidur nyenyak cuma dia sendiri.”

Secara hukum, jabatan bupati itu seperti kontrak sewa rumah. Selama masa sewanya belum habis dan tidak ada pelanggaran kontrak yang jelas, pemilik rumah (rakyat) tak bisa seenaknya usir penyewa (bupati). Ada prosedur: DPRD, rekomendasi Mendagri, sidang ini itu. Jadi kalau secara konstitusi dia masih “aman”, ya sah-sah saja bertahan.

Tapi secara sosial, ceritanya beda. Rakyat itu ibarat tetangga. Kalau tetangga sudah kesal tiap hari karena bupati rajin bikin kebijakan kontroversial, apalagi kadang keluar ucapan yang bikin kuping panas, ya meski sah di KTP sebagai “Bupati Pati”, di hati rakyat gelarnya bisa berubah jadi “Bupati Pati Aja Dah”. Dan kepercayaan publik itu seperti kaca—sekali pecah, direkatkan pun retaknya tetap terlihat.

Di titik ini, mundur bukan lagi soal kalah atau menang, tapi soal menjaga marwah. Seorang pemimpin yang tahu kapan harus meninggalkan kursi adalah pemimpin yang mengerti bahwa jabatan hanyalah titipan, bukan harta warisan. Sebaliknya, memaksakan diri bertahan ketika semua mata sudah melotot bisa bikin satu daerah seperti warung kopi, ramai debat, tapi tak ada yang nyapu lantainya.

Jadi, secara hukum dia boleh bertahan.
Tapi secara sosial, kalau gaduh sudah lebih dominan dari manfaat, mundur itu bukan kalah, itu pensiun terhormat. Toh, kadang turun panggung sebelum dilempari sandal lebih elegan ketimbang bertahan sambil menunduk karena nyangkut tali sepatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]