Full width home advertisement

OPINI ACAK

JENAKA POS

Post Page Advertisement [Top]

Antonio Gramsci pernah bilang, kekuasaan paling efektif bukan yang mengandalkan pentungan, melainkan yang membuat rakyat tersenyum sambil menyerahkan lehernya. Inilah inti hegemoni: mengubah kepentingan penguasa menjadi “akal sehat” bersama. Di Indonesia, teori ini bukan sekadar wacana akademis, ia adalah realitas harian.

Politik kita penuh dengan aktor yang paham betul bahwa membentuk opini publik jauh lebih ampuh daripada memaksakan aturan. Media, selebritas, bahkan influencer TikTok menjadi bagian dari “mesin persetujuan massal”. Ideologi? Tak perlu terlalu rumit. Cukup bungkus kekuasaan dengan narasi “stabilitas”, “persatuan”, dan “kepentingan rakyat” lalu tayangkan di prime time. Lama-lama, rakyat ikut mengulangnya seperti hafalan doa, tanpa sempat bertanya siapa yang sebenarnya diuntungkan.

Hegemoni ini meresap lewat pendidikan yang mengajarkan patuh, media yang memelihara lupa, dan budaya populer yang menghibur hingga kritisisme terasa norak. Partai politik tak lagi sekadar berjuang memenangi kursi, tapi juga memonopoli bahasa politik: mereka menentukan mana yang disebut reformasi, siapa yang layak disebut pahlawan, dan kapan kita harus merasa bangga sebagai bangsa.

Ironisnya, rakyat sering merasa semua ini adalah hasil pilihan bebas. Padahal, seperti kata Gramsci, kebebasan yang dibentuk oleh narasi dominan hanyalah kebebasan memilih dari menu yang sudah disediakan penguasa. Itulah mengapa di Indonesia, perubahan jarang lahir dari benturan ideologi, melainkan dari pergantian “sutradara” yang mengatur skenario yang sama: membuat kita merasa terlibat, padahal kita hanya penonton setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]